Ketika mengingat ke belakang, ada hal menggelikan yang membuat saya tertawa. Terutama berkaitan dengan sikap diri yang konyol. Tak terhitung berapa sering kami duduk di warung kopi dan mulai mengkritisi apa-apa yang terjadi di sekitar dan juga memberikan opini masing-masing dengan tidak lupa menganggap diri lebih hebat dari siapa pun. Kami percaya dengan apa yang kami ketahui saja dan sayangnya yang kami ketahui waktu itu ternyata masih terlalu sedikit. Dan yang lebih penting adalah apa yang dulu kami komentari kebanyakannya adalah dari persepsi dan asumsi belaka tanpa dibarengi dalil, teori dan fakta ilmiah. Kalau pun ada, hanya secuil saja.
Setelah bertemu dengan orang-orang baru yang menyampaikan perspektif terhadap banyak hal, dan juga wawasan mereka yang tak terkalahkan membuat saya sadar bahwa apa yang saya ketahui selama ini belumlah apa-apa. Masih banyak ilmu dan pengetahuan yang ternyata belum saya ketahui. Ada banyak buku-buku yang belum saya baca dan ternyata saya masih tergolong orang-orang yang mengurung ilmu dalam perpustakan. Saya hanya bisa melongo dan terperangah ketika mereka membicarakan tentang marxisme, liberalisme, anarkisme, kapitalisme, politik dan sebagainya.
Di sinilah saya menyadari betapa pentingnya keluar dari eumpung alias zona nyaman. Berada pada zona nyaman dan menganggap diri sudah hebat yang ternyata membuat saya terhenti dan bahkan tertinggal. Mungkin di sinilah Tuhan menunjukkan kasih sayang kepada hambaNya dengan melarang kita bersikap tinggi hati dan merasa lebih hebat dari siapa pun. Saya teringat dengan apa yang dikatakan oleh seorang kakak kelas, kesombongan adalah tingkatan terakhir dari ilmu pengetahuan. Artinya, meski kita punya kemampuan atau potensi mencapai angka 10, tapi karena di angka 6 saja kita sudah sombong, maka pada tingkatan 6 sajalah kita tersangkut dan tidak akan mencapai tingkatan yang lebih dari itu meski kemampuan kita lebih besar.
Sebenarnya kalau belajar dari sejarah, ada banyak sekali orang-orang yang binasa karena kesombongannya baik dalam bidang seni, ilmu pengetahuan, sastra, dan science dan sebagainya. Ikon kesombongan yang paling besar sepanjang sejarah adalah Fir’un. Kesombongannya telah melampaui siapa pun bahkan iblis. Ia mengatakan bahwa dialah Tuhan yang juga bermakna ia berani menantang Tuhan. Dia yang mampu menghidupkandan mematikan tapi sejarah tidak sungkan-sungkan mencoret namanya dari daftar kemuliaan sebagai manusia.
Manusia adalah makhluk yang mulia sebagai mana yang dikatakan oleh Allah dalam kalamnya, “Telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk”. Tapi baik rupa atau kebagusan fisik ini tidak dibarengi oleh tingkah dan sifat mulia dan rendah hati maka Allah mengatakan bahwa Ia melemparkan harga diri manusia itu ke tempat yang serendah-rendahnya. Begitu pula dengan seorang manusia yang cerdas dan pandai. Ketika ia sudah bersifat sombong dan angkuh, maka tidak lama ia akan dipandang rendah oleh orang banyak. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair Lebanon, Kahlil Gibran, “Siapa yang merendahkan hatinya, akan diagungkan dan siapa yang meninggikan hatinya maka akan diinjak-injak”.
Dalam kearifan lokal orang Aceh juga terdapat sebuah hadih maja, “Ta koh dheun panah keu bara jambo, si nyak le tulo di Blang Meuraxa. Ujob semeuah, riya, teukabo, di sinan keuh le ureung binasa” intinya, sikap ria dan takabur itu mengundang kebinasaan.
Akhir kata, di atas langit pasti ada langit. Di atas orang hebat pasti ada yang lebih hebat dan orang hebat sejati itu rendah hati. Wassalam.[]
0 comments
Posting Komentar