-------

Senin, 02 April 2012

Polem Brahim

Oleh Putra Hidayatullah

“Bertahanlah Ayah!” Aku berdiri di hadapan tubuh yang terbaring setengah kaku. Sesekali ia menatap dengan pandangan sayu, tak ada daya. Pembuluh oksigen masih melekat di hidungnya. Empat jam sekali perawat masuk mencatat sesuatu yang tak kuketahui. Terkadang memberi suntikan. 

Ayah menggerakkan bola mata perlahan ke wajah kami satu per satu. Kami berdiri di sisi ranjang yang terbuat dari aluminium itu. Perban putih membalut kepalanya. Sudah 22 hari ia terbaring di rumah sakit ini, RSU Zainal Abidin. Penyakit yang sama hadir. Tahun lalu ibuku juga meninggal. Aku curiga. Jangan-jangan penyakit ini ingin membunuh anggota keluarga kami satu per satu. 

Beberapa minggu lalu, aku bicara dengan tetanggaku, Cupo Ramlah. Awalnya ia bertanya tentang kondisi ayah dan entah mengapa tiba-tiba pembicaraan mengarah pada sesosok laki-laki tua di Gampong Meukuta. Hanya beberapa orang saja di kampungku yang tahu. Mereka memanggilnya Polem Brahim.

“Sering kudengar ia sakti. Suka memelihara jin.” Po Ramlah risih, tapi terlihat bersemangat bercerita.    

“Dulu aku pernah melihatnya dia berjalan menunduk sambil menyeret sepotong bambu  kering. Kata suamiku, itu tanda-tanda orang yang punya ilmu hitam. Tak berani lihat muka perempuan.”  Ia mencoba meyakinkan.

“Kalau dia meludah, kita harus meludah juga. Kalau tidak, iblis-iblis tak kasat mata itu bisa menggerayangi kita. Ia akan mencekik, membuat kita tersiksa berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun.” Ia tampak serius.

Seketika itu pula almarhum ibu berkelebat dalam ingatanku. Beberapa malam sebelum meninggal, ia juga sering merintih seperti ada yang mencekik. Pernah suatu ketika aku menjaganya di rumah sakit, ia berkata setengah berteriak.

“Allah… Allah… Allah…” Matanya memerah meminta belas kasih. Raut wajahnya berkerut merasakan sakit. Setiap kali begitu aku membuka Alquran dan mengulang-ngulang surat Yasin beberapa kali. Ia pun tenang dan damai. Perlahan ia terlelap selama beberapa jenak setelah cukup lama tak memejamkan mata. Empat hari kemudian, ibu pun ‘pergi’.

Ketika mendengar cerita tentang Polem Brahim itu, sarafku bekerja liar. Aku mencoba membayangkan kembali sosok itu. Lamat-lamat ia berkelabat dalam ingatan. Ia pernah ke rumah saat ibu meninggal dulu. Memakai kopiah putih dan tongkat bambu. Umurnya sekira 70 tahun. Selintas pandang ia tak seperti orang jahat. 

Tapi aku selalu percaya manusia punya seribu cara untuk menipu orang lain dengan penampilan luarnya. Semenjak sore itu, setiap kali aku membayangkan Polem Brahim, aku murka, darahku mendidih.

“Bang, cepat panggilkan dokter!” Aku tersentak dari lamunan. Kulihat ayahku bergerak-gerak ingin melepaskan infus. Ia seperti tersiksa dengan pembuluh-pembuluh buatan itu. Adikku Qafrawi dan Azizah langsung memegang tangan kanan dan tangan kirinya. Tanpa menunggu lama aku langsung berlari menuju pintu depan ruang ICU. Kubangunkan perawat yang sedang pulas di meja dengan berbantalkan kedua lengan. “Kak, ayahku, Kak.” Aku kalap.

Seketika perempuan muda itu menuju tempat ayah berbaring. Kulihat ia masih meronta  meminta dilepaskan selang infus. 

“Tidak apa-apa, dilepaskan dulu sebentar, nanti kita pasang lagi,” kata perawat. 

“Saya mau pergi,” kata Ayah, dengan nada berat. Ia terlihat lebih tenang sekarang kendati wajahnya masih pucat. Ia melepaskan sendiri selang-selang itu. 

“Saya ingin pergi.” Ayah memejamkan matanya. Membukanya lagi, lalu untuk terakhir kalinya ia pejam. Dan ia pun pergi untuk selama-lamanya. Denyut nadi telah berhenti. Di ruang ICU itu isak kami menyeruak, meraung memecah kesunyian malam.

***

Aku berlari terengah-engah. Dadaku kembang kempis.  “Dia tidak bisa juga Cek!” Aku memegang kedua lututku menopang tubuh. Wajahku pucat karena sedih dan letih. “Apa? Tidak bisa juga?” Pak Cek, adik ayahku, seakan tak percaya. “Coba kau tanya sama Pak Marwan. Dia sudah mengambil S2. Sepertinya untuk sekadar memandikan mayat, ia bisa.”

Akhir-akhir ini, mencari orang yang bisa memandikan mayat cukup susah. Sosok itu semakin langka, apalagi di kampungku. Semenjak Teungku Rasyid dan Teungku Ilyas meninggal, tidak ada lagi yang bisa meneruskan prosesi sakral itu. Aku mendesah. 

“Baiklah!”

Aku berlari lagi menyusuri lorong-lorong rumah warga yang berimpitan menuju rumah Pak Marwan. 

“Maafkan aku Dek Gam, bukan aku tak mau. Tapi aku tak bisa, tak ngerti” Aku menghela nafas putus asa. Dalam hati berkecamuk luka, amarah, dan penyesalan. “Kenapa dulu tak kau pelajari caranya. Kenapa kau tak peduli ketika teungku mengajarimu!” Aku protes pada diri sendiri. 

Kubayangkan mayat ayah yang kian tersiksa. Sejak pukul 01.35 dini hari hingga siang ini, mayatnya belum dikubur juga. Aku teringat pesan teungku dulu; mayat tak boleh lama dibiarkan. Ureung deuk peureulee keu bu, ureung meuninggai peureulee keu kubu. Petuah itu terngiang-ngiang. Tapi apa daya, tak ada yang bisa memandikannya.

“Coba kau pergi ke kampung sebelah, Dek Gam!” Pak Marwan akhirnya angkat bicara. “Di sana ada seorang yang paham agama dan biasa memandikan mayat. Namanya Tu.” 

Tanpa berpikir lama aku pulang mengambil sepeda di rumah. Aku mengayuhnya sekuat mungkin. Sesampai di sana, kutanyakan pada seorang bocah kecil berdiri setengah telanjang di pinggir jalan. Dia menunjukkan sebuah rumoh Aceh  yang sudah reot.

“Assalamualaikum”

“Waalaikum salam”

Tak berapa lama pintu berdecit. Lelaki tua keluar. Ia tersenyum ramah.     

“Ada apa Neuk, ada yang bisa saya bantu?”

Tiba-tiba aliran darahku serasa beku. Ada sesuatu bergolak kencang dalam hati dan pikiran. Seolah ada gempa, ada tsunami yang merobohkan tembok prasangkaku hingga berkeping-keping. Tangan kanannya memegang butiran tasbih. Aku baru sadar, Tu adalah panggilan lain untuk Polem Ibrahim yang selama ini kuanggap tukang sihir. Itu hanya gosip manusia awam yang tak paham. Ia seorang yang taat, seorang yang terkucilkan zaman. Oh, betapa banyak orang yang tak bisa membedakan mana bejat mana mulia. Maafkan aku Tu Brahim.

Aku menceritakan perkara yang menimpa. Menit itu juga ia langsung menuju rumahku. Ia memandikan ayah dengan telaten. Tidak hanya itu, ia menyalati, menguburkan, dan membacakan doa. 

Kini hari-hari perih itu telah berlalu. Namun, ada sesuatu dalam hati kecil yang sesekali menohok. Aku merasakan sepotong kekhawatiran. Aku gelisah.  “Jika Tu Brahim lebih dulu meninggal, siapa lagi yang akan memandikanku nanti?” 

* Penulis adalah Mahasiswa TEN IAIN Ar-Raniry, bergiat di Forum Alumni Muharram Journalism College (FAMJC) dan Komunitas Menulis Jeunurob (KMJ)


Sumber : Serambi Indonesia, 11 Maret 2012

0 comments

Posting Komentar