Beberapa hari ini saya belajar sesuatu yang baru mengenai cerpen. Memang kebanyakan orang terutama di Indonesia, menganggap cerpen itu hanyalah sebuah karangan yang berisi khayalan-khayalan. Mungkin saja itu ada benarnya. Saya menduga orang-orang berasumsi demikian karena mereka membaca banyak cerpen tentang pengalaman pribadi atau orang lain, atau pun murni khayalan. Akan tetapi dalam khayalan itu tidak ada inti sari atau pesan tersirat kuat yang ditinggalkan di hati pembaca.
Setelah membaca beberapa cerpen di koran-koran nasional, saya berkesimpulan bahwa cerpen itu sangat mahal harganya. Bagi saya menulis cerpen itu ratusan kali lebih sulit ketimbang menulis artikel semisal opini, skripsi dan beberapa jenis tulisan ilmiah lainnya. Ketika menulis cerpen, kita menciptakan dunia kita sendiri tanpa ada intervensi siapa pun. Nah, karena fiksi itu adalah membuat pembaca menemukan kebenaran dalam sebuah ‘kebohongan’, ada beberapa hal yang dituntut. Yang pertama adalah logis atau tidak sebuah kisah yang kita tulis. Kemudian membentuk karakter dalam tulisan. Bagaimanakah kita akan menggambarkan jika seseorang itu ramah, baik hati, kejam dan lain sebagainya. Kemudian narasi, bagaimana kita menggerakkan si tokoh dari satu scene ke scene yang lain sambil tetap menjaga agar kisah berjalan mulus. Selain ada pula hal lain yang mendukung yaitu deskripsi dan dialog.
Bagi saya pribadi, bagian yang paling sulit itu adalah deskripsi. Yaitu bagaimana kita menggambarkan sesuatu dan membuat pembaca benar-benar melihat gambaran itu dalam imajinasi mereka. Misalnya kita menggambarkan kota Paris berikut dengan Menara Eiffelnya. Wah, saya benar-benar harus menghela nafas. Kalau kata Stephen King, jika kau sudah mampu membuat deskripsi yang baik, maka baru kau pantas dibayar mahal atas tulisan-tulisanmu.
Begitu juga dengan dialog. Dialog tidak hanya semata-mata membuat karakter-karakter dalam tulisan kita tampak hidup, tapi dialog juga harus berperan menggerakkan cerita dengan memberikan informasi tersirat kepada pemabaca. Saya biasanya belajar ini di film. Setiap ada perkapan dalam film, saya perhatikan betul. Dan seperti yang saya katakan, rata-rata dari dialog-dialog yang saya pelajari dari film, saya menyimpulkan bahwa dialog dibuat se-logis mungkin, tidak kobong dan memainkan peran yakni memberi informasi yang menjadi bagian penting dari film kepada penonton.
Kembali kepada cerpen. Setelah duduk-duduk dan berdiskusi dengan beberapa penulis muda yang sudah mengirip puluhan bahkan ratusan tulisan ke media, saya menyimpulkan bahwa sebuah cerpen itu semestinya memiliki nilai lain selain dari cerita itu sendiri. Misalnya ia ikut pula menjelaskan bagaimana budaya dan kearifan lokal di suatu tempat. Sebuah cerpen yang ideal tidak hanya memiliki deskripsi, narasi dan dialog yang bagus, tetapi secara substansi ia memainkan peran lain seperti kritik sosial, nasihat, dan lain sebagainya. Semalam (9/0512), seorang teman yang kini bekerja di sebuah media malah terang-terangan mengatakan bahwa di media tempat dia bekerja, cerpen-cerpen bertema ‘merah jambu’ tidak lagi diminati oleh redaktur. Dengan kata lain, berpeluang besar untuk tidak dimuat. Singkat kata, menulis cerpen itu tidak enteng dan cerpen bukanlah seperti anggapan selama ini, sebuah dongeng atau khayalan yang tidak bermanfaat. Bagi saya pribadi, cerpen itu adalah seni menelanjangi orang lain dan bahkan diri sendiri dengan cara elegan agar bisa berubah menjadi lebih baik.[]
0 comments
Posting Komentar