Malam ini seorang teman mengirim link wawancara Fathimah Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR) dengan Linda Christanty, salah seorang sastrawati Indonesia yang sudah dua kali meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA). Dari jawaban-jawaban Linda pada wawancara tersebut, khusus yang berkait dengan sastra, saya belajar sesuatu.
Menurut Linda sebuah karya sastra itu tidak cukup dengan menghibur saja tapi juga bisa mewakili realitas. Intinya sebuah karya sastra itu seyogyanya mengangkat permasalahan-permasalahan sosial dan juga politik. Bagaimana caranya dengan membaca karya semisal cerpen, pembaca atau penguasa ikut merasakan sebuah realitas yang selama ini luput dari perhatian mereka. Ada sebuah contoh menarik yang disebutkan Linda; yaitu ketika ada buruh yang turun ke jalan menuntut hak-hak mereka yang dilanggar, orang-orang yang menggunakan jalan mengutukinya dengan alasan buruh itu membuat macet. Pada titik ini jelas terlihat bahwa orang-orang tersebut tidak memahami realitas yang dialami para buruh. Bahkan bisa jadi apa yang diperjuangkan oleh buruh tersebut juga merupakan hak si pengguna jalan sendiri. Nah, dalam hal ini sastra seharusnya berperan. Dengan imajinasi dan kemampuan mengatur kata seorang sastrawan dituntut untuk bisa menghadirkan pembaca pada sebuah ruang baru yang mungkin kerap mereka abaikan. Inilah yang dikatakan bahwa sastra itu menghaluskan budi dan (harus bisa) membuat peka.
Menurut Linda sebuah karya sastra itu tidak cukup dengan menghibur saja tapi juga bisa mewakili realitas. Intinya sebuah karya sastra itu seyogyanya mengangkat permasalahan-permasalahan sosial dan juga politik. Bagaimana caranya dengan membaca karya semisal cerpen, pembaca atau penguasa ikut merasakan sebuah realitas yang selama ini luput dari perhatian mereka. Ada sebuah contoh menarik yang disebutkan Linda; yaitu ketika ada buruh yang turun ke jalan menuntut hak-hak mereka yang dilanggar, orang-orang yang menggunakan jalan mengutukinya dengan alasan buruh itu membuat macet. Pada titik ini jelas terlihat bahwa orang-orang tersebut tidak memahami realitas yang dialami para buruh. Bahkan bisa jadi apa yang diperjuangkan oleh buruh tersebut juga merupakan hak si pengguna jalan sendiri. Nah, dalam hal ini sastra seharusnya berperan. Dengan imajinasi dan kemampuan mengatur kata seorang sastrawan dituntut untuk bisa menghadirkan pembaca pada sebuah ruang baru yang mungkin kerap mereka abaikan. Inilah yang dikatakan bahwa sastra itu menghaluskan budi dan (harus bisa) membuat peka.
Setelah membaca wawancara yang ditulis itu saya sedikit malu pada diri sendiri. Saya akui bahwa selama ini saya menulis dengan tujuan untuk dimuat, mendapat pujian, lalu sebulan kemudian mengambil honor di kantor surat kabar. Kalau tidak dimuat marah dan pernah puasa menulis berbulan-bulan. Tapi ternyata menulis sastra tidak sekerdil itu. Ada tanggung jawab yang harus diemban tentunya jika memang bercita-cita ingin menjadi sastrawan. Kita harus mampu melihat krisis dan meramu krisis itu dalam sebuah karya seni (prosa, drama atau puisi) yang kemudian bisa mengadirkan sebentuk kepekaan atau simpati dari hati pembaca.
Sebenarnya dulu saya pernah membaca pengantar pada buku "Tuhan Tahu Tapi Tuhan Menunggu" karangan sastrawan besar Rusia, Leo Tolstoy. Pada buku itu ada sebuah kalimat menarik yang sampai ini masih saya ingat meski redaksi mungkin tidak persis sama. Intinya, seni itu bisa memainkan peran lebih; tidak hanya menghadirkan keindahan belaka. Seni bisa menjadi alat kritik, penyampai pesan, dan pencerahan. Tapi setelah membaca karya-karya orang, khususnya yang dimuat di media lokal, saya menjadi lupa dengan peran lain dari seni tersebut. Karya-karya yang saya baca di sana kurang menggigit, kurang kritik terhadap pemerintah juga kurang kritis dan kurang dengan protes-protes sosial. Padahal di saat bersamaan banyak sekali permasalahan-permasalahan sosial di sekeliling kita. Kadang bukan karena ketidakmampuan penulis tapi karena selera redaktur. Kadangkala redaktur enggan menerbitkan karya-karya yang kritis karena khawatir korannya kena "serang" atau bisa jadi media tersebut memang disokong pemerintah. Dalam hal ini otomatis mereka harus meng-counter karya-karya yang berseberangan dengan si "tuan".
Dalam pada ini, Linda Christanty menulis bahwa keadaan semacam ini bisa membuat penulis kurang kritis dan tidak lagi peka terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka. Dengan sendirinya ketajaman sastra sebagai senjata akan tumpul. Sebuah karya sastra semestinya tidak hanya berisi hiburan kosong belaka tapi seperti saya sebutkan di atas, harus bisa memainkan peran lebih. Nah, di sini juga terdapat dilema. Di satu sisi sebuah karya sastra seharusnya kritis dan di sisi lain, kadangkala media enggan memuat karya-karya yang tajam.
Tapi malam ini setidaknya saya mendapat perspektif baru mengenai makna sastra. Saya sadar bahwa menulis karya semisal cerpen atau puisi bukan sekedar untuk dimuat, menerima pujian lalu selesai. Tapi harus ada hal lain yang menjadi ruh dan memberi pengaruh. Dan ruh itu ada dalam realitas sehari-hari.[]
Dalam pada ini, Linda Christanty menulis bahwa keadaan semacam ini bisa membuat penulis kurang kritis dan tidak lagi peka terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka. Dengan sendirinya ketajaman sastra sebagai senjata akan tumpul. Sebuah karya sastra semestinya tidak hanya berisi hiburan kosong belaka tapi seperti saya sebutkan di atas, harus bisa memainkan peran lebih. Nah, di sini juga terdapat dilema. Di satu sisi sebuah karya sastra seharusnya kritis dan di sisi lain, kadangkala media enggan memuat karya-karya yang tajam.
Tapi malam ini setidaknya saya mendapat perspektif baru mengenai makna sastra. Saya sadar bahwa menulis karya semisal cerpen atau puisi bukan sekedar untuk dimuat, menerima pujian lalu selesai. Tapi harus ada hal lain yang menjadi ruh dan memberi pengaruh. Dan ruh itu ada dalam realitas sehari-hari.[]
1 comments
..saya sedikit malu pada diri sendiri. selama ini menulis untuk tujuan dimuat, mendapat pujian, lalu mengambil honor di kantor surat kabar.
..ternyata menulis sastra tidak sekerdil itu. ada tanggung jawab. melihat krisis dan meramunya untuk kemudian menghadirkan kepekaan dan simpati dari hati pembaca.
(mantaap bang! empat jempol!)
Posting Komentar