Pada sabtu pagi yang cerah (kedengarannya seperti kalimat anak SD), saya tak ada agenda kecuali mengajar selama satu jam pada sorenya. Setelah bangun tidur saya duduk-duduk di beranda. Rumah saya terletak di Jeulingke tepatnya pada perbatasan antara Lingke dengan Tibang, Banda Aceh. Lorong menuju rumah saya itu adalah jalan aspal yang buntu. Kata ibu saya yang kini menetap di kampung, dulu jalan itu tembus hingga ke jalan utama. Tapi setelah tsunami seseorang membeli lahan dan pemilik lahan tersebut turut menjual jalan. Akibatnya jalan itu sekarang buntu karena dipagar oleh pemilik tanah. Di sekeliling rumah saya tumbuh banyak sekali bak ngom yang membentuk seperti hutan kecil. di bawahnya ada genangan air. Kalau melihat sekilas, seolah tak ada sesiapa tinggal di ujung sana. Tapi ternyata ada. Ada sebuah rumah shelter kayu yang saya tempati berdua dengan adik saya. "Ini seperti rumah teroris" celutuk seorang teman saat pertama menyambang.
Biasanya setiap pagi saya berangkat dari rumah dan pulang malam. Kalau ada waktu kosong saya lebih suka menghabiskannya di warung kopi sambil berselancar ria di internet. Begitu juga kalau lagi galau. Jarang saya duduk di rumah. Biasanya menghubungi teman-teman untuk peh tem di warung kopi. Semasa menulis skripsi dulu, saya pernah duduk di warung kopi dari jam sembilan pagi sampai jam dua malam. Ketika mata mulai layu baru saya pulang. Besoknya begitu lagi. Begitu juga setelah tamat kuliah. Ada lagi kegalauan. Resah mencari kerja. Hati tak tenang. Karena itu saya pergi mencari teman-teman untuk bercanda ria, curhat, dan sebagainya dengan tujuan saya bisa melupakan segala keresahan yang ada. Tapi sayang itu hanya bertahan sebentar. Sementara pekerjaan-pekerjaan internal seperti mencuci, membersihkan rumah dan sebagainya semakin menumpuk. Dan ini kemudian membuat kepala semakin seperti panci pemanas yang merebus hati dan pikiran.
Pagi itu saya bangun lebih cepat dan tidak sengaja duduk di luar sambil menyantap semangkuk mie instan. Setelah itu, karena tidak memiliki agenda apa-apa, saya melihat-lihat pemandangan di sekitar rumah saya. Ada sekawanan burung pipit berkepala putih berloncatan dari satu dahan ke dahan lain. Sesekali mematuk-matuk makanan di tanah. Kemudian datang segerombolan burung pipit dengan ras lain. Kami menyebutnya tulo pidie karena kicauan terdengar seperti mengeja kata pidie. Ukurannya sama seperti pipit berkepala putih hanya saja tulo pidie berwarna cokelat dengan dada abu-abu yang dipenuhi bintik-bintik hitam. Mereka tampak kompak menikmati makanan-makanan kecil yang mereka dapat dari dahan-dahan dan kayu-kayu lapuk dekat pagar rumah saya. Ini adalah kali pertama saya menikmati keberadaan mereka. Sebelumnya yang selalu tampak di mata saya adalah biawak. Karena di seputaran rumah saya ada semacam rawa, di sanalah biawak itu beranak pinak. Para pendatang pemula pasti terkejut melihat biawak di sana besar-besar betul. Mereka biasa berjemur di tengah aspal. Saya melihat burung pipit itu bercengkerama menikmati alam. Setelah beberapa saat kemudian datang kupu-kupu indah dengan berbagai warna. Melihat itu saya jadi terpikir, apakah lima atau sepuluh tahun ke depan makhluk seperti pipit berkepala putih dan yang berwarna cokelat itu masih ada. Apakah anak-anak saya nantinya tahu bahwa dulu pernah ada permainan anak-anak yang kami sebut theun tulo alias menangkap burung pipit. Menurut ramalan saya, sebentar lagi burung itu akan punah.
Suasana semakin indah saat saya mengeluarkan gitar dan memainkan lagu-lagu etnik favorit saya seperti lagu Liza Aulia, Seuramoe Reggae, dan beberapa lagu Iwan Fals. Pada titik ini saya betul-betul menikmati keindahan. Saya merasa bahagia sekali. Serasa inspirasi dan imajinasi bisa bermain dengan seliar-liarnya. Akhirnya saya tahu, kadang kita tak sadar bahwa keindahan yang selalu kita kejar-kejar itu berada dekat sekali dengan kita. Hanya saja kita mengabaikannya. Mungkin karena terlalu terbuai oleh ambisi-ambisi besar sehingga membuat kita lupa pada hal-hal kecil yang kadang lebih bisa membahagiakan sekaligus memperbarui semangat.[]
1 comments
seperti mata air.
Posting Komentar