Kelak itu nanti. Nanti adalah waktu dan ruang yang akan anda, saya, mereka atau kita lewati. Karena nanti itu masih ada karena manusia masih hidup, maka kapankah dan di manakah ujung nanti? Nanti berujung di suatu masa di mana kita hanya mampu berkata, membicarakan atau berteriak-teriak tentang hari ini. Tidak ada lagi nanti karena hari ini jauh lebih penting karena kondisi yang begitu membahayakan menuntut kita untuk melupakan nanti dan lebih focus pada hari ini. Tidak ada lagi harapan dan waktu telah cukup
tersia-siakan.
tersia-siakan.
Terdapat dua falsafah yang menjadi alat pandang manusia. Yang pertama agak pendek. Nanti yang hanya berarti sekedarnya. Nanti setelah sekolah, kuliah, menikah beli rumah dan punya anak. Jangkauan nanti yang satu ini sedemikian pendek. Ini kemudian berefek pada perilaku. Untuk mendapatkan hal yang demikian orang-orang yang beraliran ini akan bekerja keras sampai ada yang menghalkan segala cara. Falsafah yang ke dua menggambarkan nanti sebagai sebuah track dan sirkuit yang sangat panjang sehingga setiap jengkal yang terlewati harus-betul diperhatikan karena ada hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan mulai dari pekerjaan, perbuatan bahkan sepotong kata sekali pun. Sirkuit yang panjang ini jauh melampaui ruang dan waktu yang sedang kita alami dan lewati ini. Nanti yang panjang ini berhenti di satu titik yang disebut dengan titik keabadian. Ia berujung di sebuah tempat yang bernama akhirat dimana setiap perilaku manusia menjadi objek penting untuk menilai seberapa gigih ia mengelola kesempatan, waktu dan umur yang telah Tuhan pinjamkan kepadanya.
Maka, kesempatan dan umur ini mau dibawa kemana sebenarnya? Untuk persiapan melewati sirkuit pendek atau track yang panjang dan abadi? Tidak sedikit yang focusnya dan angle-nya terletak pada sirkuit pendek sehingga sirkuit yang panjang itu menjadi samar-samar dan pudar. Sebenarnya akan kita bawa kemana hidup ini? Apakah kita budak yang mematuhi Tuhan yang Maha Penyayang dan Pengasih ataukah Tuhan yang kita jadikan budak untuk membantu kita di saat gundah gulana dan menderita dan setelah memperoleh kegembiraan kita campakkan kembali memori kita untuk mengingatNya atau bagaimana? Sudahkah kita tahu untuk apa kita dilahirkan?
Ah… Semoga saja…
0 comments
Posting Komentar