Rahmat Maulida duduk serius meski terlihat sedikit santai. Berkali-kali ia memicingkan mata memperhatikan kain batik cokelat di depannya, sehati-hati mungkin ia mulai menggerak-gerakkan kedua kakinya secara serentak lalu roda mungil pada mesin jahit itu berputar dan membuat jarum kecil itu bergerak-gerak secara beraturan dari atas kebawah dan begitu seterusnya sehingga benang-benang pun terekatkan pada potongan kain antara yang satu dengan yang lainnya. Sudah beberapa baju yang telah dijahitnya selama Ibu Loeziana yang merupakan ibu dari seorang teman kuliah meminjamkan mesin jahit itu kepadanya.
Jam telah menunjukkan pukul 14.30 saat Rakyat Aceh menjumpai Rahmat di tempat kediamannya di Kawasan Rawa Sakti, Jeulingke. Ia tinggal di sebuah rumah shelter berdinding kayu dengan ukuran kira-kira 4x5 meter. Di depan rumahnya terdapat semacam rawa-rawa kecil. Karena jalan buntu, rumah ini terlihat seperti terkucilkan dari rumah-rumah lain di kawasan tersebut. Di tempat inilah
Rahmat tinggal bersama abang kandungnya. Ia baru menamatkan sekolah dan baru beberapa bulan menyandang status sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Syiah Kuala. Kendati usianya yang masih sangat muda, anak ke dua dari tiga bersaudara ini telah rajin berkarya dan berwirausaha. Setiap pulang kuliah, ia tidak punya waktu untuk istirahat siang. Sisa waktunya ia gunakan untuk menjahit dan belajar mendesain baju.
Rahmat tinggal bersama abang kandungnya. Ia baru menamatkan sekolah dan baru beberapa bulan menyandang status sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Syiah Kuala. Kendati usianya yang masih sangat muda, anak ke dua dari tiga bersaudara ini telah rajin berkarya dan berwirausaha. Setiap pulang kuliah, ia tidak punya waktu untuk istirahat siang. Sisa waktunya ia gunakan untuk menjahit dan belajar mendesain baju.
“Ya, bukannya saya ingin menyombongkan diri, tapi saya ingin berusaha supaya waktu saya bermanfaat dan tidak terbuang percuma” Tutur Rahmat dalam bahasa aceh.
Rahmat Maulida dilahirkan pada tanggal yang sama dengan hari sumpah pemuda yakni 28 Oktober 1992 dalam sebuah keluarga yang broken home. Umur lima tahun ayah dan ibunya telah bercerai. Semenjak itu ia memilih tinggal bersama ibu. Hal tersebut tidak membuat anak ini berputus asa. Ia terus belajar sehingga tidak heran dari kelas satu MIN hingga kelas empat, dan juga kelas enam dia selalu mendapat ranking pertama di kelas.
“Masing-masing kita diberikan hidup dan kita harus mengelola hidup kita sebaik mungkin kalau ada dukungan dari orang tua bersyukur, kalau tidak ada ya tidak masalah” Kata Rahmat polos.
Ketika masih di SMP Rahmat sudah belajar menjahit dari ibunya yang tinggal di Desa Ulee Gampong Gumpueng, Beureunuen, Pidie.
“Menjahit itu menyenangkan. Saya bisa menuangkan semua ide seni yang saya miliki karena di satu sisi saya juga menyukai seni. Saya ingin mengubah persepsi kebanyakan anak muda yang cenderung berpikir kalau ingin baju yang keren beli aja karena baju yang dijahit itu kesannya kuno, terlalu formal dan tidak ngetrend!” Ujar Rahmat.
Tidak hanya itu, untuk meringankan sedikit beban orang tua, ketika masih bersekolah di sebuah sekolah terpadu swasta yakni Madrasah Aliyah Swasta Ruhul Islam Anak Bangsa, dia belajar memangkas dan sempat juga sempat menjadi tukang pangkas dan turut mengelola sebuah tempat pangkas sekolah yang bernama WAKASAN (Warung Pangkas Santri) guna untuk menutupi sedikit biaya jajannya sehari-hari.
Pemuda yang juga pernah memperoleh juara harapan I pada Olimpiade Geografi se Pidie ini sangat menjunjung tinggi kreatifitas.
“Ya, kalau menurut saya, mahasiswa atau pemuda itu harus bisa kreatif. Ia harus berpikir kreatif misalnya ketika ia melihat ada tempurung kelapa, ia harus berpikir apa yang bisa diciptakan dari tempurung kelapa itu. Saat ini, katakanlah harga tempurung satu goni itu sekitar lima ribu. Dari satu tempurung saja, dengan kreativitas yang mereka miliki mereka bisa menciptakan beberapa aksesoris kecil seperti gantungan kunci yang kemudian bisa dijual dengan harga lima ribu per buah. Maka bayangkan berapa banyak uang yang dihasilkan dari satu goni batok kelapa dengan modal yang hanya lima ribu rupiah.” Terang Rahmat dengan semangat.
Bukan hanya menyelam sambil minum air namun Rahmat juga mencoba dengan sekali mendayung dua tiga pulau bisa terlampaui. Pangkas dan menjahit ternyata bukanlah dua hal yang dilakoninya saja. Ia mengaku ingin mencoba segala hal,
“Saya tidak tahu di mana bakat saya, jadi saya mencoba segala hal mulai dari olah raga, musik, seni seperti menggambar dan lainnya. Nanti di mana saya merasa nyaman saya dalami seperti musik, saya juga punya rencana untuk mendalami musik” Aku Rahmat.
Ia juga membuka jasa install ulang laptop. Sepulang kuliah, ia menjahit hingga sore dan malamnya pergi ke kursus untuk belajar menjadi teknisi computer di sebuah lembaga kursus di Banda Aceh. Ia sering mendapat sms atau telpon dari teman atau kenalannya yang laptopnya bermasalah. Ia mengaku tidak pernah mematok berapa ongkos install ulang sebuah laptop.
“Ya, seadanya saja. Berapa yang mereka kasih. Kadang ada yang kasih dua puluh ribu, lima puluh ribu bahkan ada juga yang tidak memberi ongkos sama-sekali. Saya tidak terlalu memaksa karena saya benar-benar menikmati semua pekerjaan saya ini” Ujar Rahmat tersenyum.
Rahmat juga memberikan sedikit komentar terkait tentang tingginya pengangguran di Indonesia. Menurutnya setiap orang harus belajar dan belajar itu tidak hanya di kelas saja,
“Ya, pemuda itu harus mengembangkan bakatnya dan yang penting harus kreatif tidak ikut-ikutan. Kalau bisa keinginan dan cita-citanya jangan untuk menjadi pekerja di perusahaan mana misalnya. Tapi juga mengembangkan ide kreatif mereka. Bisa dengan dengan ikut kursus dan sebagainya karena ketika saya liat, belajar di kursus malah lebih efektif. Dengan begitu mereka bisa membuka usaha sendiri” Tambah Rahmat.
Hingga saat ini, rumah shelter tempat ia tinggal telah menjadi seperti rumah produksi yang sering didatangi oleh teman-teman, kenalannya atau teman dari teman untuk menjahit baju, pangkas rambut, atau hanya sekedar install ulang laptop.
“Nanti, setelah sarjana saya ingin memiliki usaha sendiri, memulai bisnis”
Pemuda yang murah senyum ini juga menambahkan,
“Hidup tanpa bisnis bagai masakan tanpa garam!” Ujarnya sambil tertawa sedikit malu-malu. (PH)
BIODATA
Nama : Rahmat Maulida
TTL : Desa Ulee Gampong Gumpueng,Pidie,28 oktober 1992
Riwayat Pendidikan :
· MIN Gumpueng
· SMP Negeri 1 Mutiara, Beureunuen
· MAS Ruhul Islam Anak Bangsa, Aceh Besar
· Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala
Prestasi :
· Juara Harapan 1 Olimpiade Geografi se- Pidie Tahun 2006
· Juara III Lomba Volley Ball PORSENI se-Kecamatan Mutiara Tahun 2007
· Juara Harapan 1 Lomba Drama Bahasa Inggris se- SMA Banda Aceh dan Aceh Besar tahun 2010
1 comments
subhannallah Rahmat. keren ya...
kagum bgt kk bc ny. ^_^
JIWA MUDA teruskan perjuangan mu
Posting Komentar