-------

Rabu, 26 Oktober 2011

Timah

            Persepsi adalah timah. Timah ini kemudian dipanaskan oleh campur tangan manusia melalui media atau kejadian-kejadian dan bukti-bukti pada suatu perkara. Karena dipanaskan secara terus menerus maka timah ini berubah menjadi cair. Timah panas inilah yang kemudian disemprotkan pada golongan atau kelompok tertentu seperti PKI, Masyumi, LDK, HMI, dan lain-lain misalnya. Tidak jarang kata-kata kotor kemudian lahir dari kebencian yang juga dilahirkan oleh persepsi orang sebelumnya. Dari sinilah perang dimulai. Masing-masing pihak akan berusaha mati-matian mencari fakta-fakta dan data yang sanggup menjatuhkan kelompok lawan. Dalam banyak hal ini erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan atau bahasa yang lebih umum dipakai, kepentingan politik.

            Lalu berselisihlah mereka, pihak yang memiliki kepentingan ini. Dan orang-orang ramai dan awam menjadi kebingungan ketika masing-masing kelompok ini menyebutkan berbagai frase dan kalimat yang  tiba-tiba saja menjadi membingungkan. Biasanya sering dimulai dengan kata “Demi” atau “Atas nama”.   “Demi rakyat, atas nama mahasiswa, atas nama kesejahteraan, demi kemakmuran”. Teriakan-teriakan ini terus menggema mulai dari yang halus, dari bisik-berbisik muda-mudi di warung kopi, sampai pada TOA yang melengking keras menggetarkan gendang telinga. Kata-kata dianggap peluru yang begitu menyerang meski terkadang kosong tanpa ruh sama sekali.

            Orang-orang ramai yang awam terjebak dan ramai pula yang tersesat dalam rimba pikir yang belum jelas ujung pangkalnya ini.  Terperangkap dalam alam pikiran dua kelompok atau lebih yang memiliki kepentingan. Mereka menjadi bingung dan menyerah pada “kesesatan”. Seperti ungkap Goenawan Moehammad mantan pemimpin redaksi Koran Tempo, “Kekuasaan menginginkan sahaya”. Orang-orang ramai inilah yang menjadi sahaya. Mereka membiarkan dirinya yang menjadi sahaya. Jika pada diri mereka tersimpan bibit idealisme atau bertipe ideologis, maka mereka akan ditipu dengan logika dan retorika menawan yang bisa mematahkan pola berpikir sehingga menjadi sinkron dengan cara  berpikir si pemilik kepentingan. Sebagian lainnya mungkin dilahirkan untuk menjadi seorang materialist sejati. Tipe ini juga salah satu jenis manusia yang ada dalam masyarakat. Pikiran dan hati mereka bisa berubah mudah dengan diberikan sejumlah uang, sebuah mobil, sebuah rumah, jaminan tertentu bahkan ada yang bisa menjadi sahaya hanya dengan segelas kopi. Kelompok mana yang membayar kopinya, kelompok itulah yang baik dan di kelompok itulah ia berada. Persepsi begitu mudah dibentuk.

            Pembentukan persepsi adalah bagian dari teknik propanda. Sebuah bentuk komunikasi yang pesan di dalamnya tak terikat dengan nilai benar atau salah. Ia sengaja dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk  membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari orang banyak dengan dengan tujuan agar  mereka yang dipengaruhi akan bertindak  seperti yang diinginkan oleh sang propagandis (pelaku propaganda). Tak pelak jika praktek kibul mengibuli tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

             The Fine Art of Propaganda adalah sebuah buku yang ditulis oleh Alfred McClung Lee dan Alizabeth Briant Lee pada tahun 1939. Di dalamnya dijelaskan tentang beberapa teknik propaganda yang cukup efektif. Salah satunya yang paling terkenal adalah Name Calling. Name Calling adalah pemberian nama atau melekatkan label tertentu kepada lembaga, orang, atau gagasan sehingga massa atau orang ramai membenci dan menolaknya. Praktek ini tumbuh subur di sekeliling kita. Contoh pada level mikro ada di kebanyakan universitas di Indonesia dimana  setiap tahun mahasiswa baru digiring oleh golongan tertentu. “Jangan ikuti kelompok itu! Kelompok itu adalah kelompok para pengkhianat!” pesan tersirat yang ingin mereka sampaikan adalah ikuti kelompok kami saja. Karena kelompok kamilah yang paling suci alias kami butuh banyak massa untuk berkuasa. Sekali lagi, “Kekuasaan menginginkan sahaya”. Jadilah sahaya.  Tidak cukup dengan cara itu, cara-cara halus dan santun juga diterapkan dengan bermacam kedok yang terkesan etis,  menawan, bahkan agamis. Soe Hok Gie di tengah kegalauannya pada suatu ketika mengatakan, “Masih banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman se-idiologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik baru dari sekolah menengah, mereka akan jadi korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.

            Jarang ada yang “terselamatkan” dalam propaganda seperti ini kecuali mereka yang memiliki daya kritis sehingga masih mampu berpikir secara jernih dan tidak terbawa arus. Ketika orang ramai telah teracuni oleh si propagandis lalu mengklaim kelompok atau orang tertentu buruk, maka mereka yang “terselamatkan” akan mencari bukti-bukti terlebih dahulu kerena mereka mereka yakin “penipu ada dimana-mana”. Merekalah yang percaya pada ayat Tuhan, “Jika datang orang fasik kepadamu, maka periksalah berita yang ia kabarkan”

           Inilah praktek yang terjadi pada level mikro. Maka bagaimana dengan level makro yakni pada tingkat pemerintahan?  Mahasiswa baru itu adalah seumpama masyarakat awam atau rakyat banyak yang kerap ditipu melalui retorika-retorika dan materi atau uang. Tak heran jika seorang politisi Amerika pernah berkata, “Rakyat selalu ingin ditipu, maka biarkanlah mereka tertipu!”. Bul kibul kibul… tak kibul..kibul.. kibul diadu demi perkibulan kata Iwan Fals. Akhir kata, kebanyakan kita adalah para  korban dan juga sahaya karena “timah” kita dengan begitu mudah bisa dipanaskan dan dicairkan. 

0 comments

Posting Komentar