-------

Sabtu, 28 April 2012

Penyanyi dan Penyakit


Saya sering punya cerita menarik tentang musik. Beberapa tahun terakhir saya merasa kecewa dengan beberapa lagu. Pada 2011, lagu yang membuat saya bergidik adalah lagunya Wali yang berjudul Cari Jodoh. Saya pikir lagu itu secara substansi tidak memberi arti apa-apa. Hanya ungkapan cengeng dan putus asa seorang lelaki. Hanya sebuah keluhan yang disampaikan dengan bahasa yang hambar. Mungkin lebih cocok disebut bahasa vulgar. “Ibu-ibu… bapak-bapak… siapa yang punya anak bilang aku… aku yang tengah malu sama teman-temanku karena Cuma diriku yang tak laku-laku..” persis seperti suara pemuda kampung yang suka kentut di mic meunasah di bulan puasa dan ketika sahur menjelang, mereka berteriak “ibu-ibu, bapak-bapak, bangunlah”.

Pada tahun 2012, ada lagi lagu yang membuat saya tidak selera makan. Lagu itu adalah “Iwak Peyek”  saya selaku orang Indonesia di pulau Sumatera paling ujung tidak tahu arti Iwak Peyek. Di sinilah letak ‘kelemahan’ si pencipta lagu. Seharusnya, mereka belajar dulu siapa pasar mereka. Indonesia terdiri dari beragam bahasa dan suku; bukan jawa saja. Lagu adalah salah satu seni untuk menyampaikan pesan. Jika lagu tak dapat dimaknai oleh banyak orang, maka penyanyi tersebut tak layak menjadi penyanyi nasional di negara semisal Indonesia. Kecuali penyanyi lokal, di kampungnya sendiri misalnya.

Dari pertama mengenal Trio Macan itu saya memang sudah curiga. Mereka seperti apa yang digambarkan oleh Andrea Hirata dalam cerpennya, Kemarau, "Lebih menyanyikan maksiat daripada lagu". Mereka tidak peduli filosofi dari karya mereka dan dampak apa yang ditimbulkan kepada masyarakat terutama anak-anak. Salah satu potongan liriknya yang saya ingat adalah “sampai tua trio macan akan disanjung” Apa tujuan dari kata-kata itu coba? Tak ada apa-apanya dibanding dengan lirik lagu Iwan Fals yang kaya dengan pesan moral dan puitik. Contohnya,

“Kita hidup mencari bahagia
Harta dunia kendaraannya
Bahan bakarnya budi pekerti
Itulah nasehat para nabi”

                Sekarang ini makin banyak ‘penyanyi’ seperti Trio Macan. Mereka lebih mengandalkan tubuh ketimbang manfaat dari karya yang mereka cipta. Mereka jual paha, dada, dan sedikit suara. Yang penting terkenal, yang penting dapat uang. Kita semakin jarang menemukan seorang penyair yang bernyanyi semisal Ebit G Ade, Franky Sahilatua, Bob Dyland dan lainnya. Menurut saya, populasi penyanyi di Indonesia makin lama semakin menipis. Yang bertambah hanyalah penyakit.[]

Kamis, 26 April 2012

Menulis (curhat)

Tulis apa saja boleh, yang penting jujur dan tidak bersembunyi di balik tulisan. Yang dimaksud bersembunyi di balik tulisan adalah menjadikan tulisan sebagai topeng agar si penulis terlihat suci, kritis, dan hebat. Tulisan yang ditulis dengan jujur itu bagus dan punya kekuatan. Berbeda dengan tulisan yang dibuat-buat dan dijadikan sebagai alat pencitraan. 


Menulis itu memang sulit. Saya sendiri kerap menghadap wajah ke layar laptop dalam keadaan frustrasi dan stress. Rasanya seperti kambing yang sedang dikuliti hidup-hidup. Tapi apa boleh dikata, saya tetap harus setia dan bersabar,  berharap suatu saat ide bisa mengalir rapi dalam tulisan sehingga nyaman untuk dibaca. Apa sedang saya lakukan saat ini adalah berproses untuk itu. 

Memang benar seperti yang dikatakan oleh seseorang yang saya telah lupa namanya. Ia menyebutkan bahwa jika seseorang tidak menulis dengan keringat, maka pembaca pun tidak akan serius membacanya. Intinya, tulisan yang enak membutuhkan banyak keringat dan kesabaran. Kesabaran dan keringat itulah yang nanti membuat pembaca betah. Tapi jika tulisan ditulis seadanya saja, sekedar melepaskan uneg-uneg pribadi, maka nilainya kurang. 

Untuk menjadi seorang penulis memang ada harga yang harus dibayar. Sekilas pekerjaan ini terlihat mudah dan tidak mengeluarkan keringat. Tapi, ketika sudah mempraktikkannya, maka proses penuangan ide ke dalam tulisan ini ibarat bekerja sebagai buruh yang mengangkat sebuah batu informasi kemudian mengolahnya dan menggubahnya menjadi bentuk tertentu yang indah dan disukai. 

Menjalani profesi menulis juga seperti menjadi seorang messenger, pembawa pesan. Pekerjaan pertama yang tidak mudah adalah memanfaatkan semua indra terutama telinga dan mata semaksimal mungkin. Dengan kedua itu kita harus merekam segala yang terjadi di sekitar atau apa yang kita baca dan simpulkan dari sebuah literature. Belum lagi jika membahas tentang creative writing seperti menulis karya sastra seperti cerpen, novel, atau lainnya. Untuk yang satu ini, perlu kiranya menyimak keluh-kesah orang-orang di sekitar. Dari semua peristiwa dan dinamika, kita mengambil intisari dan menyampaikannya kepada  pembaca. Semakin bermakna dan sederhana sebuah tulisan, semakin pantas pula penulisnya dihargai. 

Saya sudah lama ingin menjadi penulis dan saya mendapati bahwa saya harus banyak mengeluarkan keringat seperti membaca banyak buku untuk menambah wawasan dan pengetahuan juga mempelajari teknik menulis. Misalnya melihat bagaimana seorang penulis yang sudah sukses membuka sebuah paragraf atau sebuah cerita. Bagaimana mereka menciptakan konflik dan lain sebagainya. 

Selama ini saya sudah mempraktikkan itu. Dari belajar ini saya menemukan betapa besarnya perjuangan yang dilakukan oleh para penulis cerita sehingga mereka berhasil merobohkan mental block atau writer block. Sebuah keadaan bersifat psikologis yang menghambat seseorang untuk menumpahkan semua ide dan perasaannya. Bisa jadi karena malu, takut, tidak percaya diri dan lain sebagainya. Tulisan yang buruk memang adalah fase utama yang harus dilalui sebelum mampu menulis dengan baik. Saya rasa penulis professional sekali pun, ketika pertama kali dia menulis, tulisannya juga buruk. Bisa jadi dia akan malu membaca itu kembali. Tulisan yang bagus hanya bisa lahir setelah melalui proses yang panjang tanpa kenal lelah dan tanpa ‘malu’. 

Merasa malu adalah permasalahan yang kerap saya alami. Saya memiliki banyak sekali tulisan jelek yang saya simpan dan tidak pernah saya publikasikan. Selain itu tidak memberi nilai manfaat yang banyak, saya juga merasa malu untuk membiarkannya dibaca oleh para pembaca. Sebenarnya pula, ada banyak tulisan yang tewas di benak dan perasaan saya karena tidak pernah menuliskannya. Sekali lagi karena alasan malu, takut dianggap jelek, dan tidak memberi manfaat atau bahkan bisa takut risiko. 

Tapi akhirnya, untuk bisa menulis, saya harus memutuskan untuk berusaha dan mengorbankan apa yang harus saya korbankan seperti waktu dan energi atau bahkan uang (untuk membeli buku). Dan yang terpenting membongkar mental-block saya dengan terus menumpahkan isi perasaan dan ide tanpa merasa malu. Sekali lagi, saya harus memegang prinsip, “tulis apa saja boleh, yang penting jujur dan apa adanya”.

Senin, 23 April 2012

I Have Dreams

I have dreams
That one day, when I wake up I find myself becoming a man of letter
That one day, a beautiful woman strengthen me when my tears fall
That one day, I become a moral man
That one day, my children become wise stars
That one day, I see humble heart shining within me: no hatred, no anger, no pride, no fear
That one day, I face my God with the sweetest smile ever



                                                                                             Jeulingke, 23 April 2012

Hebat Itu...

Ketika mengingat ke belakang, ada hal menggelikan yang membuat saya tertawa. Terutama berkaitan dengan sikap diri yang konyol. Tak terhitung berapa sering kami duduk di warung kopi dan mulai mengkritisi apa-apa yang terjadi di sekitar dan juga memberikan opini masing-masing dengan tidak lupa menganggap diri lebih hebat dari siapa pun. Kami percaya dengan apa yang kami ketahui saja dan sayangnya yang kami ketahui waktu itu ternyata masih terlalu sedikit. Dan yang lebih penting adalah apa yang dulu kami komentari kebanyakannya adalah dari persepsi dan asumsi belaka tanpa dibarengi dalil, teori dan fakta ilmiah. Kalau pun ada, hanya secuil saja. 

Setelah bertemu dengan orang-orang baru yang menyampaikan perspektif terhadap banyak hal, dan juga wawasan mereka yang tak terkalahkan membuat saya sadar bahwa apa yang saya ketahui selama ini belumlah apa-apa. Masih banyak ilmu dan pengetahuan yang ternyata belum saya ketahui. Ada banyak buku-buku yang belum saya baca dan ternyata saya masih tergolong orang-orang yang mengurung ilmu dalam perpustakan. Saya hanya bisa melongo dan terperangah ketika mereka membicarakan tentang marxisme, liberalisme, anarkisme, kapitalisme, politik dan sebagainya. 

Di sinilah saya menyadari betapa pentingnya keluar dari eumpung alias zona nyaman. Berada pada zona nyaman dan menganggap diri sudah hebat yang ternyata membuat saya terhenti dan bahkan tertinggal. Mungkin di sinilah Tuhan menunjukkan kasih sayang kepada hambaNya dengan melarang kita bersikap tinggi hati dan merasa lebih hebat dari siapa pun. Saya teringat dengan apa yang dikatakan oleh seorang kakak kelas, kesombongan adalah tingkatan terakhir dari ilmu pengetahuan. Artinya, meski kita punya kemampuan atau potensi mencapai angka 10, tapi karena di angka 6 saja kita sudah sombong, maka pada tingkatan 6 sajalah kita tersangkut dan tidak akan mencapai tingkatan yang lebih dari itu meski kemampuan kita lebih besar. 

Sebenarnya kalau belajar dari sejarah, ada banyak sekali orang-orang yang binasa karena kesombongannya baik dalam bidang seni, ilmu pengetahuan, sastra, dan science dan sebagainya. Ikon kesombongan yang paling besar sepanjang sejarah adalah Fir’un. Kesombongannya telah melampaui siapa pun bahkan iblis. Ia mengatakan bahwa dialah Tuhan yang juga bermakna ia berani menantang Tuhan. Dia yang mampu menghidupkandan mematikan tapi sejarah tidak sungkan-sungkan mencoret namanya dari daftar kemuliaan sebagai manusia. 

Manusia adalah makhluk yang mulia sebagai mana yang dikatakan oleh Allah dalam kalamnya, “Telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk”. Tapi baik rupa atau kebagusan fisik ini tidak dibarengi oleh tingkah dan sifat mulia dan rendah hati maka Allah mengatakan bahwa Ia melemparkan harga diri manusia itu ke tempat yang serendah-rendahnya. Begitu pula dengan seorang manusia yang cerdas dan pandai. Ketika ia sudah bersifat sombong dan angkuh, maka tidak lama ia akan dipandang rendah oleh orang banyak. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair Lebanon, Kahlil Gibran, “Siapa yang merendahkan hatinya, akan diagungkan dan siapa yang meninggikan hatinya maka akan diinjak-injak”. 

Dalam kearifan lokal orang Aceh juga terdapat sebuah hadih maja, “Ta koh dheun panah keu bara jambo, si nyak le tulo di Blang Meuraxa. Ujob semeuah, riya, teukabo, di sinan keuh le ureung binasa” intinya, sikap ria dan takabur itu mengundang kebinasaan. 

Akhir kata, di atas langit pasti ada langit. Di atas orang hebat pasti ada yang lebih hebat dan orang hebat sejati itu rendah hati. Wassalam.[]

Sabtu, 14 April 2012

Pada Usia 24


Kata ulang tahun semakin akrab di telinga saya sekira enam tahun yang lalu. Yaitu ketika masa SMA. Sekolah saya dulu adalah sebuah boarding school yang tidak begitu jauh dari kota Banda Aceh. Siswa-siswanya datang dari berbagai daerah. Sebagian mereka dari desa dan sebagian lain dari kota. Saya sendiri adalah anak kampung. Dan di kampung-kampung di Aceh, setahu saya, perayaan ulang tahun itu bukanlah suatu lazim dilakukan. Saya pertama kali mendengar istilah ini saat menonton film atau sinetron semasa kecil dulu. Ketika televisi hanya dimiliki oleh satu atau dua orang terkaya dalam sebuah desa. 

Sekira enam tahun yang lalu, saya mendapatkan kado ulang tahun pertama dari seorang wanita yang saya taklukkan hatinya dan juga menaklukkan hati saya. Dia adalah seorang gadis kota dan mengerti banyak tentang tren-tren yang tak pernah saya temui di kampung. Dia lebih dulu tahu apa itu internet, apa itu e-mail, apa itu yahoo messenger. Tapi ia tak tahu apa itu tapeh, on geurusong , apa itu geulungku dan dia juga tidak tahu apa itu paman (karena paman dalam bahasa Aceh disebut apa). 

Singkatnya, sejak itulah saya mengerti makna ulang tahun. saya pun jadi paham mengapa dalam sinetron-sinetron yang dulu saya tonton, gadis cantik kerap merajuk manakala ayahanda atau ibundanya lupa memberikan kado atau pun tidak ingat hari ulang tahunnya. 

Ternyata ada kebahagiaan tersendiri jika ada satu hari yang istemewa. Hari dimana ucapan selamat, doa dan harapan mengalir deras. Seperti ketika saya membaca ucapan-ucapan di dinding facebook kemarin (11 April 2012). Ucapan-ucapan itu mengukuhkan kembali kesadaran bahwa ternyata saya ada, saya tidak sendiri, saya memiliki teman-teman yang masih mendoakan. 

Namun di usia 24 ini, saya memiliki perasaan lain. Persis seperti yang dilukiskan oleh Iwan Fals pada sebuah lagunya yang berjudul Nona, "Kucoba berkaca pada jejak yang ada. Ternyata aku sudah tertinggal bahkan jauh tertinggal". Di usia yang semakin menua ini, saya belum memenuhi tuntutan zaman untuk tahu banyak hal mengenai agama, teknologi, politik, gejala sosial, dan lainnya. Apalagi status saya sebagai mahasiswa yang notabenenya “must know everything about something and know something about everything” (harus mengetahui banyak hal tentang sesuatu dan mengetahui sesuatu dari banyak hal). 

Saya seharusnya sudah memiliki kapasitas yang cukup dan mampu bersikap responsif terhadap yang terjadi di sekitar. Misalnya isu yang baru-baru ini menghangat: kenaikan BBM dan Pilkada. Namun alih-alih menawarkan solusi atas permasalahan yang ada, saya malah memilih sikap abai seolah itu bukan bidang saya, bukan masalah saya. Inilah adalah bentuk lain dari kebutaan. Sudah 24 tahun tapi masih ‘buta’. Apa jadinya kalau ada orang kampung datang bertanya, “Putra, apa pendapat kamu tentang kenaikan BBM? Bagaimana menurutmu pilkada itu? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah? Ada berapa model demokrasi? Bagaimana demokrasi dalam Islam? Apa yang paling dibutuhkan bangsa ini? (ck.. ck.. ck.. hanya ada satu kata, galau!) 

Selain itu pula, saya cukup tertinggal dengan teman-teman yang hampir setiap detik berpikir dan bekerja hingga melahirkan banyak karya. Beberapa di antaranya aktif memikirkan ide untuk pembuatan film, ada yang semakin rajin dan gigih menulis. Ada yang sudah memenangi even-even di tingkat nasional, ada yang tulisannya sudah mencapai puluhan bahkan mungkin seratusan dan tersebar ke media-media. Sementara saya baru  menulis empat opini, satu cerpen dan tiga puisi. Mereka aktif betul. Apalagi seorang teman baru yang luar biasa. Dia aktif sekali menulis kajian kritis dan menuangkan pandangannya terhadap realitas. Melihat mereka, saya semakin sadar bahwa saya bukanlah siapa-siapa. 

Di usia 24 ini pula, saya merasa malu karena masih menerima "kiriman" dari ibu saya di kampung. Terkadang terlintas dalam pikiran bahwa ini adalah suatu hal yang tidak wajar. Sudah saatnya hidup mandiri dengan biaya sendiri. Tapi pikiran ini selalu dilindas oleh hal-hal lain yang menggembirakan seperti ber-online ria: dari pagi sampai malam. Bermain facebook, nonton film dan lain-lain. Tahun lalu saya mendapat kesempatan bertemu dengan perwakilan pemuda-pemuda di seluruh Indonesia (kecuali Papua) di Cibubur, Jakarta Timur. Acara tersebut adalah pelatihan ketahanan nasional untuk pemuda (TANNASDA). Ketika berkenalan dengan teman-teman yang ramah dan baik hati itu, saya mendapati bahwa kebanyakan mereka mulai berwirausaha untuk hidup mandiri. Sementara saya?! 

Problem lain adalah saya malu karena belum mampu menunaikan salah satu rukun hidup yaitu berhemat. Saya paling malas untuk melakukan PDKT dengan kompor meski hanya sekedar merebus mie instan. Setiap tiba waktu makan, saya lebih memilih membeli nasi di warung. Maka kalau dihitung-hitung pengeluaran saya terbesar setiap bulan adalah untuk membeli nasi dan ngopi. Terkadang berkelebat pula dalam pikiran mengapa saya tidak berhemat saja. Dengan memasak misalnya. Jika ada uang lebih bisa saya manfaatkan untuk membeli buku yang bagus untuk otak dan jiwa saya. Tapi lagi-lagi dan lagi. 

Dan yang paling penting di usia 24 ini saya masih sendiri. Kadang saya berpikir saya membutuhkan seorang perempuan yang bisa memotivasi saya untuk berubah dan melakukan hal-hal yang besar dan bermanfaat. Saya percaya pada kekuatan dan aura seorang wanita. Seperti kata orang bijak, "behind a great man there is a great woman", di belakang lelaki hebat ada seorang wanita yang hebat. Saya juga ingin beristirahat sejenak dari mengucapkan kata-kata ini, 

Allahu rabbon ilahon qade
Neubuka hate dum aneuk dara
Keu ulon tuan beuditem pike 
Bek sabe-sabe dalam keucewa

Haha…. Ya sudahlah. Saya sebenarnya tertarik dengan seorang perempuan muda yang cantik dan islami. Sayangnya, setelah berpikir ulang, saya harus menghabiskan banyak sekali energi untuk mendapatkannya. Dan juga setelah meninjau kembali, lebih baik saya menggunakan energi yang ada untuk melakukan hal-hal yang bisa merubah timah yang ada dalam diri saya supaya menjadi emas. Setelah berubah menjadi emas, saya tinggal memilih saja, perempuan mana kira-kira yang akan beruntung. (hahaa…khayalan tingkat tinggi) 

Jadi begitulah saya di usia yang duapuluh empat ini. Ada banyak hal yang harus dirubah. Perubahan bukanlah perubahan hingga sampai pada perubahan. Terimakasih buat teman-teman yang telah mendoakan. Semoga diberikan kesempatan untuk bertemu dengan tahun 2013 diiring dengan segenap -perubahan yang telah terwujud. Amiin. [] 


Rabu, 04 April 2012

Sudut Pandang



Saya tertarik dengan blog seorang teman. Nama blognya Sudut Pandang. Sudut pandang menurut saya menarik untuk dibahas karena ia sebuah piranti yang mempengaruhi persepsi dan keputusan seseorang terhadap suatu hal. Kita sering melihat sebuah objek sama namun dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Contohnya saja mengenai kenaikan BBM. Sebagian orang setuju dan sebagian lain menolak. Masing-masing mereka memiliki sudut pandang tersendiri.

Berbicara masalah sudut pandang ini, ada beberapa orang yang bisa memiliki sudut pandang yang luar biasa dan berbeda dengan khalayak ramai. Umumnya mereka ini adalah orang-orang yang memperhatikan sesuatu secara menyeluruh hingga detil. Katakanlah seperti sudut pandang Newton terhadap buah apel yang jatuh. Di dunia ini ada banyak sekali orang yang telah melihat apel jatuh. Tapi sedikit yang memiliki sudut pandang yang tak biasa (termasuk saya). Hanya sedikit yang berhasil merumuskan sebuah konsep besar dari sebuah peristiwa yang sederhana seperti lahirnya hukum Newton. Salah satu thesisnya adalah “…and to every action there is always an equal and opposite reaction” (…dan dalam setiap aksi itu pasti ada reaksi; yang sesuai atau berlawanan/positif atau negatif)

Contoh lainnya adalah seperti yang dikatakan oleh pengarang novel Hafalan Shalat Delisa, Tere Liye. Dalam sebuah pelatihan tulis-menulis yang saya ikuti beberapa bulan lalu, penulis yang memiliki nama asli Darwis ini mengatakan bahwa ada banyak sekali novel-novel bertema cinta yang bertadang di toko buku tapi tidak bisa ‘meledak’ seperti novel Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan lainnya. Mengapa demikian? Salah satu alasan menurutnya adalah karena penulisnya, Habiburrahman Elshirazy, memiliki sudut pandang yang unik dan lebih hebat terhadap cinta dari pada penulis-penulis lain.

Dalam kehidupan sosial, ada banyak sekali sudut pandang manusia terhadap segala hal. Karena itu banyak pula lahir perbedaan-perbedaan interpretasi. Untuk melihat perbedaan sudut padang, saya tertarik dengan  kutipan dari esai Prof. Teuku Jacob, seorang ahli antropologi ragawi dari UGM yang tulisannya dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat tahun 1998 (konon esai ini juga terangkum dalam buku "Tahun-Tahun yang Sulit : Mari Mencintai Indonesia” diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2001, tapi saya belum membacanya). Diawali dengan sebuah pertanyaan ini, “Mengapa Kambing Menyeberang Jalan?”
 
Maka beberapa ‘ahli’ yang berkecimpung di bidangnya pun memberi jawaban, 

Ahli demografi :  "Meningkatnya kepadatan populasi di satu sisi memicu
beberapa kambing secara selektif pindah ke sisi lain yang tekanan
demografinya lebih rendah."

Pakar migrasi : "Di seberang, rumput lebih hijau dan kambing ingin mencoba
nasibnya di sana."

Ahli evolusi : "Ia ingin pindah ke relung ekologis yang lain untuk bertahan
hidup."

Pakar mutasi : "Ia tidak menyeberang, tetapi melompat-lompat ke seberang
jalan."

Ahli genetika : "Ia membuktikan bahwa makhluk hidup itu memang egois yang
berpuncak pada gennya."

Ahli meteorologi : "Ia pikir di seberang tidak hujan."

Ahli astrofisika : "Untuk menghindari dampak meteor."

Ahli vulkanologi : "Tanda-tanda gunung api akan meletus."

Pengusaha hutan : "Ia melarikan diri dari kebakaran hutan."

Ahli matematika : "Ia ingin membentuk himpunan baru."

Ahli filsafat : "Ia tak puas lagi dengan dengan paradigma lama."

Penganut kepercayaan : "Ada kekuatan gaib yang menggerakkannya ke seberang."


Calon doktor : "Ia hendak membuktikan salah satu hipotesis bahwa kambing
tidak berani menyeberang jalan."

Pejabat : "Harus diwaspadai, mungkin ia anti pembangunan."

LSM : "Ia bermaksud mencari suaka karena tidak dapat membuktikan bahwa bahwa
ia bukan kambing hitam."

Politikus : "Memang dasar kutu loncat."

Ideolog : "Terbukti bahwa kambing itu liberal."

Pakar hak-hak asasi : "Di sebelah sini cukup makan, tetapi tidak bebas
mengembek, sedangkan di seberang sana bebas mengembek meski tak cukup
makan."

Ahli hukum : "Tidak ada rambu jalan yang melarangnya menyeberang."

Pedagang kaki lima : "Ada bau kereta tukang sate yang mendekat."

Pembantai : "Kambing boleh menyeberang ke mana saja, tetapi hidupnya akan
berakhir di bawah doa dan parang saya."

Penimbun pangan : "Ia sangka rumput di sini akan segera habis."

Wartawan : "Kambing menyeberang jalan bukan berita, kecuali kalau ia milik
pejabat atau artis."

Ahli psikologi : "Karena terkejut oleh klakson mobil, ia jadi panik dan
salah ambil keputusan."

Ahli sejarah : "Sejak jalan ada, kambing sudah menyeberang jalan."

Kritikus sastra : "Ia agak jalang, dan ingin lari dari gerombolannya yang
terbuang."

Ahli statistik : "Seekor kambing dan sebuah jalan adalah indikator yang
terlalu kecil sehingga tak perlu didiskusikan."

Ahli ekonomi : "Mengapa buang waktu dan energi memperbincangkan kambing
menyeberang jalan, yang penting berapa harga kambing sekarang dalam dolar."

Kaum realis : "Kambing itu menyeberang karena ingin berada di sisi yang
lain, terlepas dari rumput di sana lebih hijau atau tidak."

Jawaban-jawaban di atas menunjukkan betapa beragamnya persepsi seseorang terhadap hal tertentu. Tidak jarang, perbedaan-perbedaan ini melahirkan benturan-benturan yang bersifat saling menyerang. Ada sebuah analogi  yang elegan untuk ini. Kita ambil saja sebuah angka yaitu angka 6. Dilihat dari sisi berlawanan, maka ia akan berubah menjadi angka 9. Maka dalam permasalahan sudut pandang ini beberapa orang akan bersikuh dan berjuang mati-matian untuk membenarkan bahwa itu adalah angka 9. Sementara yang lain akan melakukan hal yang sama dengan mengatakan bahwa itu adalah angka 6. Hanya karena persoalan kecil itu, bentrokan terjadi. Dan hal sejenis ini sering kita temukan di sekeliling kita.

Di negara sekaliber Indonesia, keluwesan sudut pandang menjadi sangat penting. Negara  ini terdiri dari 300 kelompok etnik dengan ratusan bahasa. Tak pelak kita dihadapkan pada sebuah kenyataan dimana perbedaan-perbedaan tumbuh subur. Apa jadinya jika kita hanya bersikukuh pada satu sudut pandang sempit untuk memahami sedemikian luasnya keberagaman ini.

               Disebutkan bahwa manajemen yang paling fundamental dalam hidup adalah manajemen perbedaan. Manajemen perbedaan ini juga dipengaruhi oleh sudut pandang terhadap perbedaan itu sendiri. Maka untuk menyatukan itu, perlu keluwesan sikap yang dicerminkan dalam kesediaan untuk bermusyawarah bukan saling menodong dan saling memvonis. Itulah mengapa ada perintah, “bermusyawarahlah kamu dalam setiap urusan”.

Wassalam.

Ilustrasi: Google

Senin, 02 April 2012

Teumeunak



            Tidak seperti kebanyakan kata lain, teumeunak adalah kata yang memiliki power dan aura. Kata ini mengandung unsur yang bisa merepresentasikan kepribadian  seseorang seperti kuat, berani, tegas, lantang, sampai pada amoral. Dalam bahasa Indonesia tidak ada kata yang akurat semisal radio, kursi, kakak atau lainnya yang dapat mewakili kata teumeunak. Untuk mencapai pada makna teumeunak yang sejati, kita bisa mengaitkannya dengan beberapa kata lain yang sebangsa dengan teumeunak seperti kata menggertak, mencaci, membentak, dan menusuk (dengan kata-kata).

Selain teumeunak, kata lain yang hampir serupa adalah semeuseup. Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, kedua kata tersebut adalah bagian yang tak dapat dipisahkan. Di satu sisi, ini dikarenakan karakter orang aceh yang cenderung keras dan frontal terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini dan diinginkannya.

Teumeunak ini biasa dilakukan oleh orang dewasa karena ‘pekerjaan’ ini terlalu kasar bila dilakukan oleh anak-anak. Tidak jarang anak-anak yang sempat mengucapkan kata-kata ini akan kena jewer oleh orang tua atau gurunya. Sementara orang dewasa, hampir tidak ada yang berani memberi sanksi kepada mereka. Dalam beberapa lini, orang dewasa memang memiliki ruang-ruang istimewa atau privilege Karena itulah semenjak kecil saya ingin cepat-cepat jadi orang dewasa.

Kembali pada teumeunak. Walau pun perbuatan ini dianggap negatif, dalam beberapa kondisi teumeunak adalah skill yang penting untuk dipelajari. Seperti bagaimana diksi (pemilihan kata) yang tepat untuk membuat teumeunak kita menjadi benar-benar berasa lebih dan lebih berasa.

Mengapa teumeunak itu perlu? Salah satu alasannya adalah supaya harga diri seorang individu bisa tetap survive dalam kondisi tertentu. Sehingga apa yang disebut dengan pembunuhan karakter tidak dengan mudahnya terjadi. Kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam kehidupan sosial ada beberapa tipe manusia yang kebal nasehat. Setiap peringatan yang disampaikan dengan cara-cara halus malah membuat mereka semakin keranjingan melakukan hal yang sama berulang-ulang seperti mengejek, menertawakan dan memandang rendah.

Ada sebuah kutipan yang saya simpulkan dari pengalaman-pengalaman yang saya alami, bahwasanya “terlalu baik itu tidak baik”. Kata “terlalu” ini mengingatkan saya pada guru bahasa Inggris sewaktu saya SMP  dulu. Dalam bahasa inggris, ada kata-kata terlalu atau too  digunakan untuk menerangkan sesuatu yang berlebih. Misalnya too expensive yang berarti terlalu mahal; too bad, terlalu buruk. Kata guru saya itu,  sesuatu yang sudah memakai kata-kata too alias terlalu, seringkali condong pada konotasi negatif. Dengan kata lain berlebihan. Saat ini  sesuatu yang berlebihan ini sering disebut dengan “lebai”.

“Terlalu baik” dapat pula bermakna sikap yang lebai dan berlebihan. Sikap ini hampir sama seperti sikap terlalu toleran-nya orang tua terhadap anak-anak mereka sehingga apa yang mereka minta dipenuhi.  Dalam sikap terlalu baik, ketika harga diri diinjak-injak, kita diam. Ketika marwah digadaikan kita pasrah.  Bukan karena memiliki sikap bijaksana, tapi karena lebai. Ingin dikatakan baik, dikatakan tabah, penyabar dan lain sebagainya. Anehnya, sikap terlalu baik ini membuat beberapa tipe manusia semakin keranjingan memanfaatkan kesempatan. Semakin lebai kita menjadi baik, semakin keranjingan pula mereka menghina. Lebih ekstrem lagi ketika pemanfaatan kesempatan ini dilakukan dalam keramaian. Mereka tidak peduli tentang harga diri orang lain selama mereka masih bisa membuat orang sekitar tertawa atau lebih tepatnya menertawakan.

Dalam pada ini, teumeunak merupakan opsi terakhir agar begundal-begundal itu bisa menghargai orang lain. Di sisi lain, teumeunak merupakan ekspresi yang educative bagi beberapa  tipe manusia yang keras kepala dan tak pandai menggunakan hati. Ekspresi ini juga memberikan informasi tersirat kepada objek yang kita teumeunak-kan bahwa sikap mereka tidak sinkron dengan norma. Dengan demikian, akan muncul dalam pikiran mereka semacam pemberitahuan sekaligus kesimpulan yang elegan semisal “o… teranyata dia tidak suka kalau kita gituin” atau pun membantu mereka untuk meng-intropeksi diri “o… ternyata sikap saya sudah terlalu berlebihan”  Dengan teumeunak ini pula kita membuktikan pada para begundal bahwa kita punya marwah dan harga diri. Sama halnya seperti mereka.

Kendati teumeunak  itu perlu dalam situasi-situasi tertentu, maka janganlah sesekali melakukan teumenak terhadap orang yang baik-baik yaitu mereka yang pandai memakai hati dan tidak sembarangan dalam bersikap. Dalam kehidupan orang Aceh, terdapat sebuah filosofi yang bisa menggambarkan bagaimana sikap dan tindak-tanduk orang Aceh itu sendiri. “ Ureung Aceh nyan ureung leubeh. Meunyo ka teupeh, bu leubeh han geupeutaba. Tapi meunyo hana teupeh, boh kr*h jeut taraba.”

Maka itu berhati-hatilah agar tidak melewati batas dalam bersikap karena itu bisa merongrong harga diri orang lain. Kalau tidak, bisa-bisa anda akan keunong teunak. Wassalam…

Polem Brahim

Oleh Putra Hidayatullah

“Bertahanlah Ayah!” Aku berdiri di hadapan tubuh yang terbaring setengah kaku. Sesekali ia menatap dengan pandangan sayu, tak ada daya. Pembuluh oksigen masih melekat di hidungnya. Empat jam sekali perawat masuk mencatat sesuatu yang tak kuketahui. Terkadang memberi suntikan. 

Ayah menggerakkan bola mata perlahan ke wajah kami satu per satu. Kami berdiri di sisi ranjang yang terbuat dari aluminium itu. Perban putih membalut kepalanya. Sudah 22 hari ia terbaring di rumah sakit ini, RSU Zainal Abidin. Penyakit yang sama hadir. Tahun lalu ibuku juga meninggal. Aku curiga. Jangan-jangan penyakit ini ingin membunuh anggota keluarga kami satu per satu. 

Beberapa minggu lalu, aku bicara dengan tetanggaku, Cupo Ramlah. Awalnya ia bertanya tentang kondisi ayah dan entah mengapa tiba-tiba pembicaraan mengarah pada sesosok laki-laki tua di Gampong Meukuta. Hanya beberapa orang saja di kampungku yang tahu. Mereka memanggilnya Polem Brahim.

“Sering kudengar ia sakti. Suka memelihara jin.” Po Ramlah risih, tapi terlihat bersemangat bercerita.    

“Dulu aku pernah melihatnya dia berjalan menunduk sambil menyeret sepotong bambu  kering. Kata suamiku, itu tanda-tanda orang yang punya ilmu hitam. Tak berani lihat muka perempuan.”  Ia mencoba meyakinkan.

“Kalau dia meludah, kita harus meludah juga. Kalau tidak, iblis-iblis tak kasat mata itu bisa menggerayangi kita. Ia akan mencekik, membuat kita tersiksa berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun.” Ia tampak serius.

Seketika itu pula almarhum ibu berkelebat dalam ingatanku. Beberapa malam sebelum meninggal, ia juga sering merintih seperti ada yang mencekik. Pernah suatu ketika aku menjaganya di rumah sakit, ia berkata setengah berteriak.

“Allah… Allah… Allah…” Matanya memerah meminta belas kasih. Raut wajahnya berkerut merasakan sakit. Setiap kali begitu aku membuka Alquran dan mengulang-ngulang surat Yasin beberapa kali. Ia pun tenang dan damai. Perlahan ia terlelap selama beberapa jenak setelah cukup lama tak memejamkan mata. Empat hari kemudian, ibu pun ‘pergi’.

Ketika mendengar cerita tentang Polem Brahim itu, sarafku bekerja liar. Aku mencoba membayangkan kembali sosok itu. Lamat-lamat ia berkelabat dalam ingatan. Ia pernah ke rumah saat ibu meninggal dulu. Memakai kopiah putih dan tongkat bambu. Umurnya sekira 70 tahun. Selintas pandang ia tak seperti orang jahat. 

Tapi aku selalu percaya manusia punya seribu cara untuk menipu orang lain dengan penampilan luarnya. Semenjak sore itu, setiap kali aku membayangkan Polem Brahim, aku murka, darahku mendidih.

“Bang, cepat panggilkan dokter!” Aku tersentak dari lamunan. Kulihat ayahku bergerak-gerak ingin melepaskan infus. Ia seperti tersiksa dengan pembuluh-pembuluh buatan itu. Adikku Qafrawi dan Azizah langsung memegang tangan kanan dan tangan kirinya. Tanpa menunggu lama aku langsung berlari menuju pintu depan ruang ICU. Kubangunkan perawat yang sedang pulas di meja dengan berbantalkan kedua lengan. “Kak, ayahku, Kak.” Aku kalap.

Seketika perempuan muda itu menuju tempat ayah berbaring. Kulihat ia masih meronta  meminta dilepaskan selang infus. 

“Tidak apa-apa, dilepaskan dulu sebentar, nanti kita pasang lagi,” kata perawat. 

“Saya mau pergi,” kata Ayah, dengan nada berat. Ia terlihat lebih tenang sekarang kendati wajahnya masih pucat. Ia melepaskan sendiri selang-selang itu. 

“Saya ingin pergi.” Ayah memejamkan matanya. Membukanya lagi, lalu untuk terakhir kalinya ia pejam. Dan ia pun pergi untuk selama-lamanya. Denyut nadi telah berhenti. Di ruang ICU itu isak kami menyeruak, meraung memecah kesunyian malam.

***

Aku berlari terengah-engah. Dadaku kembang kempis.  “Dia tidak bisa juga Cek!” Aku memegang kedua lututku menopang tubuh. Wajahku pucat karena sedih dan letih. “Apa? Tidak bisa juga?” Pak Cek, adik ayahku, seakan tak percaya. “Coba kau tanya sama Pak Marwan. Dia sudah mengambil S2. Sepertinya untuk sekadar memandikan mayat, ia bisa.”

Akhir-akhir ini, mencari orang yang bisa memandikan mayat cukup susah. Sosok itu semakin langka, apalagi di kampungku. Semenjak Teungku Rasyid dan Teungku Ilyas meninggal, tidak ada lagi yang bisa meneruskan prosesi sakral itu. Aku mendesah. 

“Baiklah!”

Aku berlari lagi menyusuri lorong-lorong rumah warga yang berimpitan menuju rumah Pak Marwan. 

“Maafkan aku Dek Gam, bukan aku tak mau. Tapi aku tak bisa, tak ngerti” Aku menghela nafas putus asa. Dalam hati berkecamuk luka, amarah, dan penyesalan. “Kenapa dulu tak kau pelajari caranya. Kenapa kau tak peduli ketika teungku mengajarimu!” Aku protes pada diri sendiri. 

Kubayangkan mayat ayah yang kian tersiksa. Sejak pukul 01.35 dini hari hingga siang ini, mayatnya belum dikubur juga. Aku teringat pesan teungku dulu; mayat tak boleh lama dibiarkan. Ureung deuk peureulee keu bu, ureung meuninggai peureulee keu kubu. Petuah itu terngiang-ngiang. Tapi apa daya, tak ada yang bisa memandikannya.

“Coba kau pergi ke kampung sebelah, Dek Gam!” Pak Marwan akhirnya angkat bicara. “Di sana ada seorang yang paham agama dan biasa memandikan mayat. Namanya Tu.” 

Tanpa berpikir lama aku pulang mengambil sepeda di rumah. Aku mengayuhnya sekuat mungkin. Sesampai di sana, kutanyakan pada seorang bocah kecil berdiri setengah telanjang di pinggir jalan. Dia menunjukkan sebuah rumoh Aceh  yang sudah reot.

“Assalamualaikum”

“Waalaikum salam”

Tak berapa lama pintu berdecit. Lelaki tua keluar. Ia tersenyum ramah.     

“Ada apa Neuk, ada yang bisa saya bantu?”

Tiba-tiba aliran darahku serasa beku. Ada sesuatu bergolak kencang dalam hati dan pikiran. Seolah ada gempa, ada tsunami yang merobohkan tembok prasangkaku hingga berkeping-keping. Tangan kanannya memegang butiran tasbih. Aku baru sadar, Tu adalah panggilan lain untuk Polem Ibrahim yang selama ini kuanggap tukang sihir. Itu hanya gosip manusia awam yang tak paham. Ia seorang yang taat, seorang yang terkucilkan zaman. Oh, betapa banyak orang yang tak bisa membedakan mana bejat mana mulia. Maafkan aku Tu Brahim.

Aku menceritakan perkara yang menimpa. Menit itu juga ia langsung menuju rumahku. Ia memandikan ayah dengan telaten. Tidak hanya itu, ia menyalati, menguburkan, dan membacakan doa. 

Kini hari-hari perih itu telah berlalu. Namun, ada sesuatu dalam hati kecil yang sesekali menohok. Aku merasakan sepotong kekhawatiran. Aku gelisah.  “Jika Tu Brahim lebih dulu meninggal, siapa lagi yang akan memandikanku nanti?” 

* Penulis adalah Mahasiswa TEN IAIN Ar-Raniry, bergiat di Forum Alumni Muharram Journalism College (FAMJC) dan Komunitas Menulis Jeunurob (KMJ)


Sumber : Serambi Indonesia, 11 Maret 2012