Karena persahabatanku yang terlalu dekat dengan iblis, akhirnya sesuatu yang suci datang dan menuntunku ke sebuah tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Konon, tempat itu dihuni oleh kebanyakan manusia-manusia penghuni surga. Karena berjalan kaki di tengah terik, bulir-bulir keringat jatuh bak hujan dari awan. Kebisingan jalan berpacu dengan kemacetan lalu lintas ada di sana-sini. Tanpa membutuhkan waktu berhari-hari akhirnya aku tiba di tempat itu.
Dari pintu gerbang terlihat luasnya halaman dan indahnya gedung. Pasti gedung ini dibangun oleh raja karena raja akhir-akhir ini lebih suka membangun yang terlihat saja ketimbang yang tak terlihat. Mereka lebih memperhatikan kekokohan sebuah gedung ketimbang kekokohan moral dan peradaban rakyatnya.
Di pintu gerbang terdapat sebuah tulisan. Mungkin ini adalah nama yang diberikan untuk gedung ini pikirku. Tulisan itu terbuat dari besi namun berwarna keemasan. Walau terkena pantulan sinar matahari, tulisan itu masih dapat kubaca,
RUMAH SAKIT JIWA
Ketika satpam penjaga pintu lalai, aku menerobos masuk ke dalam. Ada pemandangan aneh. Untuk pertama kalinya aku melihat seorang nenek tua yang menangis sambil mengendong sebuah boneka. Sesekali ditamparnya boneka itu. Aku semakin heran dan bertanya-tanya kira-kira seperti apakah masa lalu nenek ini sehingga nasib menuntunnya untuk bertingkah seperti ini. Karena hampir setiap perbuatan manusia di hari tua mencerminkan bagaimana masa mudanya. Ah… lebih baik kutinggalkan saja dia. Belum sempat kumelangkah, seorang pria paruh baya berlari ke arahku dalam keadaan telanjang. Dia berak di atas tangannya sendiri dan berteriak mengabarkan seisi tempat,
“Woi… ada orang gila datang… ada orang gila datang.. hahaha . . “
Dia lalu melempar kotorannya ke arahku. Untung saja aku bisa menghindar. Aku cepat-cepat berlari menjauh hingga memasuki ke dalam salah satu gedung yang ada di sana. Di dalamnya ada beberapa orang yang berpakaian sama. Mirip seperti sebuah asrama. Lalu aku masuk ke dalam gedung yang berdinding putih itu. Lantainya yang mengkilap juga berwarna putih. Masih ada beberapa cleaning service yang sedang membersihkannya. Aku terus berjalan hendak menaiki lantai II. Namun di tangga ada seorang pemuda belia yang terlihat pucat dan sangat kurus. Dia duduk saja dan seperti enggan berbicara. Aku mengatur nafas,
“Sudah lama tinggal di sini Bang?” Aku bertanya dengan sopan kusertai senyum termanis yang pernah kumiliki.
Dia mengangguk tanpa menoleh ke arahku. Pandangannya menunduk kaku seakan-akan tajam menembus inti bumi. Aku masih tetap berdiri di sana. Setelah beberapa menit, tiba-tiba ia tersenyum dan mencoba berbicara dengan suaranya yang agak parau setengah enerjik.
“Tahukah engkau wahai anak muda?” aku terperangah dengan kata itu (Anak Muda) karena jelas bahwa usiaku jauh lebih tua ketimbang dirinya. Namun aku memilih untuk kudengarkan saja celotehnya.
“Lihatlah negeri ini!” lanjutnya.
“Penyakit tumbuh di mana-mana. Setiap pasangan muda yang menikah, kebanyakan mereka didasari oleh hawa nafsu. Lalu mereka ikut melahirkan penyakit-penyakit baru yang lebih kuat daya serangnya. Perhatikan pulalah rakyat yang berlomba-lomba menyumpahi pemimpin mereka. para pemimpin juga sibuk memperkaya diri. Terkutuklah orang-orang yang menjadikan politik sebagai alat untuk mencari nafkah.” Ia mulai terlihat geram.
Aku masih mendengarkan apa yang dia katakan.
“Lihatlah di sana! Ada banyak gedung yang mereka namakan sekolah bahkan ada ribuan. Untuk MEMANUSIAKAN MANUSIA. Begitu kata mereka. Dan hari ini kukatakan padamu wahai anak muda,” Dia kembali menyebutku anak muda.
“Sekolah-sekolah itu lebih baik dibubarkan saja karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan” Dia terlihat semakin geram. Pandangannya masih kaku seolah-olah ingin meruntuhkan tembok di depannya. Aku semakin menemukan perbedaan yang jelas ada pada dirinya. Kucoba bertanya dengan nada yang lebih halus,
“Kenapa engkau mengatakan itu wahai anak muda?”
“Jangan panggil aku anak muda!!!” katanya tegas.
“pikiranku jauh lebih tua ketimbang pikiranmu!!” Lanjutnya.
“Kau masih saja seperti kebanyakan anak-anak di negeri ini. usia mereka memang sudah tua namun pikirannya masih sama seperti anak-anak yang suka bermain, bermain dan terus main-main hingga ajal tiba. Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usianya tapi dari seberapa besar pikirannya. Dan Itulah kenapa kukatakan sekolah lebih baik dibubarkan saja. Baik sekolah maupun universitas, kebanyakannya sudah diperuntukkan untuk orang-orang yang kaya saja. Lihat si miskin di sana yang masih terus dililit erat oleh kebodohan-kebodohan. Dan kalaupun ada orang kaya yang mampu ke sekolah atau pernah ke sekolah, sikap dan otak kebanyakan mereka masih saja bebal dan amat enggan menggapai cita-cita kemanusiaan. Sekolah hanya berfungsi untuk memperkaya diri dan supaya dipandang terhormat oleh masyarakat padahal dibaliknya tersimpan kemunafikan-kemunafikan. Sikap individualistik dan bagaimana cara mendapatkan sesuatu sebanyak-banyaknya adalah hal yang diajarkannya. Mereka ke sekolah atau universitas untuk melindungi diri cengkeraman kemiskinan. Lalu siapakah akan melindungi mereka dari cengkeraman diri mereka sendiri? Percayalah padaku, tutuplah sekolah, matikan TV, berikan mereka buku, ajarkan mereka membaca dan tumbuhkan hasrat keilmuannya agar mereka tahu siapa dirinya sesungguhnya. Agar mereka tidak berjalan di muka bumi ini dengan kesombongan-kesombongan.”
Setelah mengatakan itu, dia lalu bangkit hendak menaiki tangga untuk menuju lantai II namun tangannya duluan dicegat oleh dua orang petugas rumah sakit yang berseragam putih.
“Ternyata dia perlu disetrum dan diberikan beberapa kali lagi suntikan tambahan“ Begitu kata petugas itu. Dan dia pun dibawa ke tempat yang tidak kuketahui.
Aku masih berdiri kaku tak dapat berkata apa-apa. Alam pikiranku seperti teraduk-aduk setelah sekian lama tertidur. Dengan perasaan iba bercampur galau kutinggalkan rumah sakit jiwa itu. Dekat pintu gerbang di luar pekarangan rumah sakit jiwa, kulihat lagi pemandangan lain. si Khalis, seorang bocah setengah telanjang, ia adalah tetanggaku yang ayahnya telah ditembak beberapa waktu lalu oleh “orang yang dikenal.” Ia sedang dengan neneknya yang setengah renta menengadahkan tangan meminta sesuap nasi. Namun puluhan mobil mewah yang lalu lalang di depannya terlihat seperti tak melihat apa-apa. Hati mereka tidak lagi terenyuh seperti dulu. Aku berkata dalam hati,
“Dunia yang ada di luar rumah sakit jiwa jauh lebih gila ketimbang dunia di dalam rumah sakit jiwa. Iya, lebih gila. . .”
Aku terus berjalan gamang hingga ada sesuatu yang datang dan aku pun hilang.
Kampong Keuramat, 14 Desember 2010
Dari pintu gerbang terlihat luasnya halaman dan indahnya gedung. Pasti gedung ini dibangun oleh raja karena raja akhir-akhir ini lebih suka membangun yang terlihat saja ketimbang yang tak terlihat. Mereka lebih memperhatikan kekokohan sebuah gedung ketimbang kekokohan moral dan peradaban rakyatnya.
Di pintu gerbang terdapat sebuah tulisan. Mungkin ini adalah nama yang diberikan untuk gedung ini pikirku. Tulisan itu terbuat dari besi namun berwarna keemasan. Walau terkena pantulan sinar matahari, tulisan itu masih dapat kubaca,
RUMAH SAKIT JIWA
Ketika satpam penjaga pintu lalai, aku menerobos masuk ke dalam. Ada pemandangan aneh. Untuk pertama kalinya aku melihat seorang nenek tua yang menangis sambil mengendong sebuah boneka. Sesekali ditamparnya boneka itu. Aku semakin heran dan bertanya-tanya kira-kira seperti apakah masa lalu nenek ini sehingga nasib menuntunnya untuk bertingkah seperti ini. Karena hampir setiap perbuatan manusia di hari tua mencerminkan bagaimana masa mudanya. Ah… lebih baik kutinggalkan saja dia. Belum sempat kumelangkah, seorang pria paruh baya berlari ke arahku dalam keadaan telanjang. Dia berak di atas tangannya sendiri dan berteriak mengabarkan seisi tempat,
“Woi… ada orang gila datang… ada orang gila datang.. hahaha . . “
Dia lalu melempar kotorannya ke arahku. Untung saja aku bisa menghindar. Aku cepat-cepat berlari menjauh hingga memasuki ke dalam salah satu gedung yang ada di sana. Di dalamnya ada beberapa orang yang berpakaian sama. Mirip seperti sebuah asrama. Lalu aku masuk ke dalam gedung yang berdinding putih itu. Lantainya yang mengkilap juga berwarna putih. Masih ada beberapa cleaning service yang sedang membersihkannya. Aku terus berjalan hendak menaiki lantai II. Namun di tangga ada seorang pemuda belia yang terlihat pucat dan sangat kurus. Dia duduk saja dan seperti enggan berbicara. Aku mengatur nafas,
“Sudah lama tinggal di sini Bang?” Aku bertanya dengan sopan kusertai senyum termanis yang pernah kumiliki.
Dia mengangguk tanpa menoleh ke arahku. Pandangannya menunduk kaku seakan-akan tajam menembus inti bumi. Aku masih tetap berdiri di sana. Setelah beberapa menit, tiba-tiba ia tersenyum dan mencoba berbicara dengan suaranya yang agak parau setengah enerjik.
“Tahukah engkau wahai anak muda?” aku terperangah dengan kata itu (Anak Muda) karena jelas bahwa usiaku jauh lebih tua ketimbang dirinya. Namun aku memilih untuk kudengarkan saja celotehnya.
“Lihatlah negeri ini!” lanjutnya.
“Penyakit tumbuh di mana-mana. Setiap pasangan muda yang menikah, kebanyakan mereka didasari oleh hawa nafsu. Lalu mereka ikut melahirkan penyakit-penyakit baru yang lebih kuat daya serangnya. Perhatikan pulalah rakyat yang berlomba-lomba menyumpahi pemimpin mereka. para pemimpin juga sibuk memperkaya diri. Terkutuklah orang-orang yang menjadikan politik sebagai alat untuk mencari nafkah.” Ia mulai terlihat geram.
Aku masih mendengarkan apa yang dia katakan.
“Lihatlah di sana! Ada banyak gedung yang mereka namakan sekolah bahkan ada ribuan. Untuk MEMANUSIAKAN MANUSIA. Begitu kata mereka. Dan hari ini kukatakan padamu wahai anak muda,” Dia kembali menyebutku anak muda.
“Sekolah-sekolah itu lebih baik dibubarkan saja karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan” Dia terlihat semakin geram. Pandangannya masih kaku seolah-olah ingin meruntuhkan tembok di depannya. Aku semakin menemukan perbedaan yang jelas ada pada dirinya. Kucoba bertanya dengan nada yang lebih halus,
“Kenapa engkau mengatakan itu wahai anak muda?”
“Jangan panggil aku anak muda!!!” katanya tegas.
“pikiranku jauh lebih tua ketimbang pikiranmu!!” Lanjutnya.
“Kau masih saja seperti kebanyakan anak-anak di negeri ini. usia mereka memang sudah tua namun pikirannya masih sama seperti anak-anak yang suka bermain, bermain dan terus main-main hingga ajal tiba. Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usianya tapi dari seberapa besar pikirannya. Dan Itulah kenapa kukatakan sekolah lebih baik dibubarkan saja. Baik sekolah maupun universitas, kebanyakannya sudah diperuntukkan untuk orang-orang yang kaya saja. Lihat si miskin di sana yang masih terus dililit erat oleh kebodohan-kebodohan. Dan kalaupun ada orang kaya yang mampu ke sekolah atau pernah ke sekolah, sikap dan otak kebanyakan mereka masih saja bebal dan amat enggan menggapai cita-cita kemanusiaan. Sekolah hanya berfungsi untuk memperkaya diri dan supaya dipandang terhormat oleh masyarakat padahal dibaliknya tersimpan kemunafikan-kemunafikan. Sikap individualistik dan bagaimana cara mendapatkan sesuatu sebanyak-banyaknya adalah hal yang diajarkannya. Mereka ke sekolah atau universitas untuk melindungi diri cengkeraman kemiskinan. Lalu siapakah akan melindungi mereka dari cengkeraman diri mereka sendiri? Percayalah padaku, tutuplah sekolah, matikan TV, berikan mereka buku, ajarkan mereka membaca dan tumbuhkan hasrat keilmuannya agar mereka tahu siapa dirinya sesungguhnya. Agar mereka tidak berjalan di muka bumi ini dengan kesombongan-kesombongan.”
Setelah mengatakan itu, dia lalu bangkit hendak menaiki tangga untuk menuju lantai II namun tangannya duluan dicegat oleh dua orang petugas rumah sakit yang berseragam putih.
“Ternyata dia perlu disetrum dan diberikan beberapa kali lagi suntikan tambahan“ Begitu kata petugas itu. Dan dia pun dibawa ke tempat yang tidak kuketahui.
Aku masih berdiri kaku tak dapat berkata apa-apa. Alam pikiranku seperti teraduk-aduk setelah sekian lama tertidur. Dengan perasaan iba bercampur galau kutinggalkan rumah sakit jiwa itu. Dekat pintu gerbang di luar pekarangan rumah sakit jiwa, kulihat lagi pemandangan lain. si Khalis, seorang bocah setengah telanjang, ia adalah tetanggaku yang ayahnya telah ditembak beberapa waktu lalu oleh “orang yang dikenal.” Ia sedang dengan neneknya yang setengah renta menengadahkan tangan meminta sesuap nasi. Namun puluhan mobil mewah yang lalu lalang di depannya terlihat seperti tak melihat apa-apa. Hati mereka tidak lagi terenyuh seperti dulu. Aku berkata dalam hati,
“Dunia yang ada di luar rumah sakit jiwa jauh lebih gila ketimbang dunia di dalam rumah sakit jiwa. Iya, lebih gila. . .”
Aku terus berjalan gamang hingga ada sesuatu yang datang dan aku pun hilang.
Kampong Keuramat, 14 Desember 2010