-------

Jumat, 31 Desember 2010

si Gila Part II

Karena persahabatanku yang terlalu dekat dengan iblis, akhirnya sesuatu yang suci datang dan menuntunku ke sebuah tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Konon, tempat itu dihuni oleh kebanyakan manusia-manusia penghuni surga. Karena berjalan kaki di tengah terik, bulir-bulir keringat jatuh bak hujan dari awan. Kebisingan jalan berpacu dengan kemacetan lalu lintas ada di sana-sini. Tanpa membutuhkan waktu berhari-hari akhirnya aku tiba di tempat itu.



Dari pintu gerbang terlihat luasnya halaman dan indahnya gedung. Pasti gedung ini dibangun oleh raja karena raja akhir-akhir ini lebih suka membangun yang terlihat saja ketimbang yang tak terlihat. Mereka lebih memperhatikan kekokohan sebuah gedung ketimbang kekokohan moral dan peradaban rakyatnya.



Di pintu gerbang terdapat sebuah tulisan. Mungkin ini adalah nama yang diberikan untuk gedung ini pikirku. Tulisan itu terbuat dari besi namun berwarna keemasan. Walau terkena pantulan sinar matahari, tulisan itu masih dapat kubaca,

RUMAH SAKIT JIWA

Ketika satpam penjaga pintu lalai, aku menerobos masuk ke dalam. Ada pemandangan aneh. Untuk pertama kalinya aku melihat seorang nenek tua yang menangis sambil mengendong sebuah boneka. Sesekali ditamparnya boneka itu. Aku semakin heran dan bertanya-tanya kira-kira seperti apakah masa lalu nenek ini sehingga nasib menuntunnya untuk bertingkah seperti ini. Karena hampir setiap perbuatan manusia di hari tua mencerminkan bagaimana masa mudanya. Ah… lebih baik kutinggalkan saja dia. Belum sempat kumelangkah, seorang pria paruh baya berlari ke arahku dalam keadaan telanjang. Dia berak di atas tangannya sendiri dan berteriak mengabarkan seisi tempat,

“Woi… ada orang gila datang… ada orang gila datang.. hahaha . . “

Dia lalu melempar kotorannya ke arahku. Untung saja aku bisa menghindar. Aku cepat-cepat berlari menjauh hingga memasuki ke dalam salah satu gedung yang ada di sana. Di dalamnya ada beberapa orang yang berpakaian sama. Mirip seperti sebuah asrama. Lalu aku masuk ke dalam gedung yang berdinding putih itu. Lantainya yang mengkilap juga berwarna putih. Masih ada beberapa cleaning service yang sedang membersihkannya. Aku terus berjalan hendak menaiki lantai II. Namun di tangga ada seorang pemuda belia yang terlihat pucat dan sangat kurus. Dia duduk saja dan seperti enggan berbicara. Aku mengatur nafas,



“Sudah lama tinggal di sini Bang?” Aku bertanya dengan sopan kusertai senyum termanis yang pernah kumiliki.

Dia mengangguk tanpa menoleh ke arahku. Pandangannya menunduk kaku seakan-akan tajam menembus inti bumi. Aku masih tetap berdiri di sana. Setelah beberapa menit, tiba-tiba ia tersenyum dan mencoba berbicara dengan suaranya yang agak parau setengah enerjik.

“Tahukah engkau wahai anak muda?” aku terperangah dengan kata itu (Anak Muda) karena jelas bahwa usiaku jauh lebih tua ketimbang dirinya. Namun aku memilih untuk kudengarkan saja celotehnya.

“Lihatlah negeri ini!” lanjutnya.

“Penyakit tumbuh di mana-mana. Setiap pasangan muda yang menikah, kebanyakan mereka didasari oleh hawa nafsu. Lalu mereka ikut melahirkan penyakit-penyakit baru yang lebih kuat daya serangnya. Perhatikan pulalah rakyat yang berlomba-lomba menyumpahi pemimpin mereka. para pemimpin juga sibuk memperkaya diri. Terkutuklah orang-orang yang menjadikan politik sebagai alat untuk mencari nafkah.” Ia mulai terlihat geram.

Aku masih mendengarkan apa yang dia katakan.

“Lihatlah di sana! Ada banyak gedung yang mereka namakan sekolah bahkan ada ribuan. Untuk MEMANUSIAKAN MANUSIA. Begitu kata mereka. Dan hari ini kukatakan padamu wahai anak muda,” Dia kembali menyebutku anak muda.

“Sekolah-sekolah itu lebih baik dibubarkan saja karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan” Dia terlihat semakin geram. Pandangannya masih kaku seolah-olah ingin meruntuhkan tembok di depannya. Aku semakin menemukan perbedaan yang jelas ada pada dirinya. Kucoba bertanya dengan nada yang lebih halus,

“Kenapa engkau mengatakan itu wahai anak muda?”

“Jangan panggil aku anak muda!!!” katanya tegas.

“pikiranku jauh lebih tua ketimbang pikiranmu!!” Lanjutnya.

“Kau masih saja seperti kebanyakan anak-anak di negeri ini. usia mereka memang sudah tua namun pikirannya masih sama seperti anak-anak yang suka bermain, bermain dan terus main-main hingga ajal tiba. Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usianya tapi dari seberapa besar pikirannya. Dan Itulah kenapa kukatakan sekolah lebih baik dibubarkan saja. Baik sekolah maupun universitas, kebanyakannya sudah diperuntukkan untuk orang-orang yang kaya saja. Lihat si miskin di sana yang masih terus dililit erat oleh kebodohan-kebodohan. Dan kalaupun ada orang kaya yang mampu ke sekolah atau pernah ke sekolah, sikap dan otak kebanyakan mereka masih saja bebal dan amat enggan menggapai cita-cita kemanusiaan. Sekolah hanya berfungsi untuk memperkaya diri dan supaya dipandang terhormat oleh masyarakat padahal dibaliknya tersimpan kemunafikan-kemunafikan. Sikap individualistik dan bagaimana cara mendapatkan sesuatu sebanyak-banyaknya adalah hal yang diajarkannya. Mereka ke sekolah atau universitas untuk melindungi diri cengkeraman kemiskinan. Lalu siapakah akan melindungi mereka dari cengkeraman diri mereka sendiri? Percayalah padaku, tutuplah sekolah, matikan TV, berikan mereka buku, ajarkan mereka membaca dan tumbuhkan hasrat keilmuannya agar mereka tahu siapa dirinya sesungguhnya. Agar mereka tidak berjalan di muka bumi ini dengan kesombongan-kesombongan.”



Setelah mengatakan itu, dia lalu bangkit hendak menaiki tangga untuk menuju lantai II namun tangannya duluan dicegat oleh dua orang petugas rumah sakit yang berseragam putih.

“Ternyata dia perlu disetrum dan diberikan beberapa kali lagi suntikan tambahan“ Begitu kata petugas itu. Dan dia pun dibawa ke tempat yang tidak kuketahui.



Aku masih berdiri kaku tak dapat berkata apa-apa. Alam pikiranku seperti teraduk-aduk setelah sekian lama tertidur. Dengan perasaan iba bercampur galau kutinggalkan rumah sakit jiwa itu. Dekat pintu gerbang di luar pekarangan rumah sakit jiwa, kulihat lagi pemandangan lain. si Khalis, seorang bocah setengah telanjang, ia adalah tetanggaku yang ayahnya telah ditembak beberapa waktu lalu oleh “orang yang dikenal.” Ia sedang dengan neneknya yang setengah renta menengadahkan tangan meminta sesuap nasi. Namun puluhan mobil mewah yang lalu lalang di depannya terlihat seperti tak melihat apa-apa. Hati mereka tidak lagi terenyuh seperti dulu. Aku berkata dalam hati,

“Dunia yang ada di luar rumah sakit jiwa jauh lebih gila ketimbang dunia di dalam rumah sakit jiwa. Iya, lebih gila. . .”



Aku terus berjalan gamang hingga ada sesuatu yang datang dan aku pun hilang.



Kampong Keuramat, 14 Desember 2010

Sebuah Pertemuan Yang Tak Lazim

Sore itu cerah dan sedikit bergerimis. Di sebuah hutan raya, seekor anjing jantan bertemu dengan seekor kucing betina berbulu putih di bawah sebuah pohon besar. Mereka berteduh di sana agar bulu-bulu mereka tidak basah.



“Apa kabarmu wahai Kucing? Sudah lama aku tidak menyapa setelah pertengkaran kita yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad dan diketahui oleh setiap generasi. Dan bukankah sebuah hal yang indah manakala kita saling menyapa?”



Mendengar kalimat terakhir, si kucing merespon,



“Iya, namun tidak selamanya menyapa mengandung keindahan. Dimanakah letak keindahan jika dibalik itu tersimpan kemunafikan dan yang tersisa disana pada dasarnya hanya kebencian-kebencian yang selalu kita balut dengan senyuman-senyuman manis yang palsu saat kita bertemu. Dan setelah itu, kita kembali ke kawanan kita masing-masing dan saling menjelekkan. Kau dan aku sama saja. Sama-sama pengecut.”



Mendengar hal itu si Anjing terlihat seperti seorang pelawak yang leluconnya sama sekali tidak lucu. Hambar. Si Anjing ketawa kecil untuk menutupi kebodohannya seraya bertanya kembali,



“Hehe… lalu bagaimana kabarmu selama ini?”

Kucing menjawab,



“Akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman dan sangat malu dengan isi rimba lainnya. Aku malu dengan sikap kita yang sama sekali tidak dewasa. Saling bertengkar, memusuhi, mencaci dan lain sebagainya yang membuat rasa kebinatangan kita sama sekali tidak semulia rasa kemanusiaan. Aku sangat malu! Kemarin sudah pernah kuceritakan hal ini kepada manusia sebagai makhluk yang konon lebih mulia. Namun dibelakangku mereka dengan santai berkata, “Itu hanya malu-malu kucing”. Huft… aku benar-benar bingung bagaimana menyelesaikan ini” kucing mengeleng-gelengkan kepala setengah putus asa.



“Hehe. . . kau benar-benar bodoh! Siapa bilang mereka lebih mulia!” kata Anjing tanpa beban. “ Mereka sama saja sepertiku, tidak pernahkah kau mendengarkan mereka memanggil temannya dengan panggilanku. Woi,anjing, macam anjing, anak anjing kau! dan lain sebagainya. Mereka memanggil saudaranya sendiri dengan namaku dan bukankah hal itu menunjukkan bahwa kami sama? Atau paling tidak sederajat. Dalam beberapa hal, aku bahkan berpikir akulah yang lebih mulia. Cukup dengan diberikan sepotong tulang saja aku rela mengabdi dan menjadikan mereka tuan sekalipun mereka menganggap itu kebodohan namun aku bersabar dan tetap mengabdi dengan ikhlas. Namun lihatlah mereka, seberapa banyak yang mereka ambil bahkan mencuri dari bangsanya sendiri namun enggan mengabdi kepada kaumnya. Yang mereka tahu adalah bagaimana memperoleh sebanyak-banyaknya. Manusia itu rakus dan telah menjadi serigala bagi kaumnya sendiri.”



Anjing terus berceramah dengan berapi-api sementara kucing sambil menguap berkata dalam hati,



“Anjing mengonggong khalifah berlalu”

Dan kucing pun tertidur pulas.







Lingke, 17 Desember 2010

Wanita dan Kecantikan

Pada zaman dahulu kala, suasana agak berbeda. Salah satu perbedaannya terapat pada para wanita. Dulu, para wanita terlalu percaya diri sehingga merasa tidak perlu bersolek demi kecantikan.



“Aduhai , alangkah malangnya nasibku”



Begitu kata kecantikan pada suatu hari karena wanita telah memperlakukannya seperti anak tiri yang terkucilkan. Wanita bahkan tidak peduli karena bagi mereka dengan bersolek berarti mereka telah mengakui bahwa mereka jelek. Rasa percaya diri itu terus tumbuh ibarat bunga mawar yang memancarkan daya magis alami yang amat anggun. Disiram dengan ilmu pengetahuan dan dibakar dengan api kebijaksanaan yang membuat semuanya terlihat sangat indah.



Pada suatu hari, tanpa ada angin dan badai, rasa percaya diri beberapa orang di antara mereka menjadi layu. Hal ini bermula karena rasa iri mereka ketika melihat beberapa temannya terlihat lebih menarik di mata beberapa lelaki. Setelah kejadian itu mereka pun memutuskan untuk bersolek diri dan mulai tertarik untuk mengikuti sebuah perlombaan universal yakni berlomba-lomba untuk tampil menarik.



Begitulah ceritanya. Semenjak saat itu, wanita tidak bisa dipisahkan dari kecantikan layaknya kehidupan dengan kematian. Namun demikian, wanita adalah simbol kehormatan karena dalam dirinya ada seorang ibu.







Jambo Tape, 13 Desember 2010

si Gila

Syekh Abdul Fatah dulu tinggal di kota ini. Ia adalah seorang ilmuan yang bijaksana dan arief. Tidak ada yang dilakukannya selain memperbaiki diri juga berusaha memperbaiki masyarakat yang kian bobrok. Mereka suka mabuk-mabukan, berbuat lagha, korupsi dan kemaksiatan lainnya. Syekh telah menjadi seorang pengikut Al-Ghazali yang percaya bahwa hidup adalah memberi sebanyak-banyaknya bukan sebaliknya. Dengan itu ia mengorbankan tenaga dan pikirannya demi cita-cita kemanusiaan yang luhur. Dengan membaca perjalanan hidup Jalaluddin Rumi, ia menjadi orang-orang yang percaya bahwa hidup adalah perbuatan dan mereka-mereka yang mencintai yang tak terlihat akan jauh lebih mulia ketimbang mereka yang mencintai yang terlihat. Hal ini pula yang melindunginya dari penuhanan dan penghambaan diri terhadap benda.





Lalu aku teringat jawaban ibu suatu hari ketika aku bertanya dengan polos,

“Ibu, menurut Ibu, manakah yang lebih mudah antara memelihara manusia dengan memelihara binatang?

Kata ibu waktu itu, Memelihara binatang lusinan kali lebih mudah ketimbang memelihara cucu Adam. Memelihara manusia adalah memelihara dua makhluk yang pertama ruh yang perlu dididik dan jasad yang perlu dirumahkan dalam tempat yang sebebas-bebasnya.





Aku pikir tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan Ibu. Jiwa manusia perlu dibimbing, pikirannya mesti tumbuh layaknya bunga tulip di taman yang subur. Dan perbuatannya harus mekar dan menyuburkan layaknya gemericik sugai yang membasahi ladang sehingga disana bisa tumbuh kehidupan yang baru dan memperbaharui. Bukan malah sebaliknya.





Dan seperti itulah yang dilakukan oleh Syech Abdul Fatah. Mempersiapkan pikiran yang terisi dengan ilmu pengetahuan sebagai amunisi dan hati yang terisi dengan iman sebagai benteng.

Sudah menjadi hal yang lazim, memulai yang baik selalu dihantam oleh yang hitam dan mengerikan juga tidak kalah menjijikkan. Prahara demi prahara menimpa layaknya tangan-tangan mungil bayi yang dihantap dengan palu godam. Cercaan demi cercaan dan hinaan tajam jelas memuncratkan darah di dada.



Bertahun-tahun berjalan di antara keramaian dengan keikhlasan dan kesabaran, lalu muncul sesuatu yang prosesnya luput dari alam sadar manusia.

Suatu keajaiban lahir. Penduduk Kota ini sedikit demi sedikit mulai tercerahkan. Mereka menang atas pertempuran melawan kebodohan dan itulah pertempuran termulia yang pernah ada. Lampu peradaban itu pun menyala seterang-terangnya sehingga bisa terlihat di belahan dunia manapun bahkan menyilaukan.



***



Namun sayang, itu terjadi jauh ratusan tahun yang lalu sebelum aku dilahirkan. Dan surat kabar yang kubaca hari ini bertuliskan “ Makam Syuhada Terbengkalai dan Tak Terurus” sementara makam Syech Abdul ada di sana. Tiba-tiba aku teringat bunyi sebuah slogan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya”. Huft.. alangkah kecilnya bangsa ini pikirku.



Kuseruput lagi kopi yang tinggal sedikit lalu bangkit dan kutinggalkan Kedai kopi remang-remang itu. Di jalanan terlihat banyak “mayat hidup” yang lalu lalang dalam kebingungan. Ada yang bercengkerama dan berhura-hura. Mereka adalah generasi yang bergembira atas luka peradaban yang memuncratkan darah yang amat amis. Namun itu sama sekali tak tercium di hidung mereka. Hal ini mendorongku untuk mendekati mereka dan bertanya,



“Apakah kalian mencium sesuatu?”

“Tidak!” Kata mereka di sela-sela tawa yang belum selesai.

“Atau hidungku saja yang tidak lagi normal?” Aku kembali bertanya.

“Iya, hidungmu memang tidak lagi normal. Dan bukan hanya itu, jiwa dan pikiranmu juga tidak lagi waras!!”

“hahahahaha…..” Mereka tertawa meriah dan semakin meriah.



Aku terdiam dan seperti Bom Waktu aku terkucilkan. Dan begitulah adanya, di mata orang-orang yang gila, kita akan selalu terlihat gila. Selamanya. . .



Lamnyoeng, 13 December 2010

Kurikulum dan Kemerdekaan Berpikir

Hidup adalah pilihan dan manusia telah dikarunia oleh Tuhan free will, yakni kebebasan untuk memilih mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk yang nantinya mereka akan mempertagungjawabkannya. Beruntunglah orang-orang yang memilih segala sesuatu berdasarkan kebutuhannya bukan keinginan semata.



Dalam kehidupan, manusia dihadapkan pula pada dua hal yang berkaitan erat dengan dirinya yakni memilih antara menjadi orang yang berpendidikan dan berpikir merdeka di sebuah institusi atau memilih untuk juga berada dalam institusi namun dalam keadaan yang penuh dengan keterkungkungan alam pikiran yang kerdil.



Sekitar setengah abad yang lalu dunia ini dikejutkan dengan thesis Ivan Illich, Seorang filosof kelahiran Wina tahun 1926. Ia memulainya dengan sebuah frase, “Deschooling Society”, melucuti sekolah dari masyarakat atau melepaskan masyarakat dari penjara yang bernama sekolah. Illich dipandang sebagai seorang pemikir yang sangat ekstreme karena dengan terang-terangan juga ikut menyebutkan “sekolah adalah candu yang lebih berbahaya dari pada nuklir”



Illich adalah seorang pemikir yang tidak memiliki “massa” namun dalam konteks Indonesia thesis ini layak dikaji dan diperbincangkan kembali. Meskipun tidak seekstreme dirinya yang mencoba menghapus sekolah, paling tidak kita mengkritisi apa yang menjadi ruh daripada sekolah / universitas yakni kurikulum.



Ketika kembali kepada hakikat dan pemaknaan kembali pendidikan, kita akan dihadapkan pada sebuah substansi yang memiliki makna positive. Pendidikan adalah memperbaiki manusia menjadi manusia yang berakhlakul karimah, mengembangkan keterampilan dan kapasitas juga menjadi medium memperbaiki dan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan yang menjadikan manusia makhluk yang utuh.



Untuk memenuhi dan mencapai tujuan ini kemudian lahir sekolah dan perguruan tinggi. Kita bisa memperhatikan sangat banyak jumlah sekolah di negeri ini. Namun kuantitas ini juga sama banyaknya dan berbanding lurus dengan jumlah patologi, ketimpangan dan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.



Bila kita mau merenungi bersama disana ada sesuatu. Ada missing link antara apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan apa yang sedang dipelajari di ruang formal empat kali empat. Sekolah dan Kurikulum kita menjadi impoten dan tidak mampu menyeselaikannya bahkan menggiring manusia untuk melupakan permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar demi tercapainya target kaku yang telah ditetapkan. Di saat jiwa generasi kita sedang gersang, yang mereka dapatkan bukanlah semacam pembasahan namun pemaksaan-pemaksaan agar mereka ikut serta berpartisipasi menyukseskan usaha pencapaian target belajar yang telah ditentukan pemerintah. Kita diharuskan mempelajari logaritma, aljabar dan lainnya di saat moral generasi yang sedang kacau balau. Walhasil, Salah satu konsekuensi yang muncul adalah lahirnya individu-individu apatis yang tidak memiliki kepekaan sosial dan kesadaran altruistik terhadap sesama.



Dalam diri manusia terdapat dua dimensi kodrati yang tak bisa dilepaskan berupa dimensi individual dan sosial. Di sinilah manusia mengemban tugas untuk menyeimbangkan antara hal-hal yang bersifat individualis dan juga yang bersifat sosial. Manakala salah satunya terkebiri, maka yang lainnya akan mejadi mala petaka bagi kemanusiaan. Dan hal unik yang ditawarkan oleh system dan kurikulum terhadap pelajar adalah perspektif kompetitif yang menjadikan setiap proses pembelajaran adalah persaingan. Orang-orang di sekeliling tergambarkan dalam mindset sebagai lawan yang harus dikalahkan. Dari sinilah sedikit demi sedikit alam bawah sadar kita terbentuk untuk menjadi pribadi-pribadi yang individualis. Kita menjadi orang yang begitu saja rela membiarkan saudara-saudara kita tertatih berjalan pincang asalkan kita mampu mendapatkan IPK 4. Kita digiring untuk membunuh kepekaan kita terhadap permasalahan-permasalahan yang dialami bangsa. Setiap generasi menjadi lupa dan tidak peduli terhadap apa yang sedang terjadi di dunia saat ini, apa yang terjadi di negerinya, apa yang terjadi di tempatnya bahkan ia tidak mengetahui apa yang sebenarnya dia cari dan butuhkan karena energi dan pemikirannya tidak terarah sebagaimana mestinya. Inovasi berpikir berjalan stagnan bahkan lumpuh. Mereka telah berjalan dalam kebingungan dan tidak tepat lagi membaca tanda-tanda zaman.



Kurikulum yang tersistem dalam sebuah sistem besar di negeri ini adalah ibarat lingkaran setan yang membuat para penghuninya terus menerus berputar-putar dalam kebingungan dan ketidakpastian. Para pelajar tidak lagi belajar karena adanya hasrat intelektual yang seharusnya dirangsang oleh kurikulum tetapi lebih cenderung karena pemaksaan-pemaksaan karena kurikulum menciptakan manusia-manusia pembeo yang mati daya kritis dan curiousity-nya dan akan dengan kejam menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Pelajar tergambarkan sebagai the oppressed (Orang yang ditindas) dan dosen menjadi Opressor (Orang yang menindas). Jika demikian, serentetan fase pendidikan mulai dari SD sampai Sarjana atau bahkan Doktor adalah sebuah metamorfosis dari the oppressed menjadi the oppressor.



Menurut filsafat pendidikan, manakala manusia mengalami salah didik, maka akan mengakibatkan pada kerusakan yang membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk memperbaikinya bahkan hampir tidak ada peluang untuk perbaikan. Ketidakberesan suatu generasi salah satunya adalah karena ketidakberesan kurikulum dalam sebuah system. Salah satu cara untuk memperbaiki system adalah dengan menggedornya dengan sebuah palu kultur baru. Kultur yang menghargai intelektual dan kemerdekaan berpikir. Bukankah bangsa yang maju itu adalah bangsa yang mau berpikir. Semoga kita adalah termasuk orang-orang yang mau berpikir dan merasa atau setidaknya berada dalam lingkarannya. Wallahualam..Wassalam..





Lingke, 05 Desember 2010



Minggu, 05 Desember 2010

Menjadi Intelektual yang Merdeka

Dalam Al-Quran disebutkan bahwa orang-orang yang berilmu akan ditinggikan oleh Allah beberapa derajat; bahkan derajat orang yang berilmu jauh lebih tinggi dari orang-orang yang beribadah. Hal ini juga menunjukkan betapa penting dan berharganya ilmu pengetahuan. Ia adalah perangkat yang memuliakan dan membuat manusia terhormat baik dihadapan Allah maupun manusia. Sebagai contoh , orang miskin yang berilmu akan lebih terhormat ketimbang orang kaya yang bodoh dan serakah

Dalam perjalanan kehidupan, ilmu pengetahuan telah mengambil peran besar dalam proses metamorfosis menjadikan manusia dari human being menjadi human becoming. Dari derajat manusia yang rendah ke derajat manusia yang lebih tinggi yakni insan kamil. Insan kamil inilah yang menyadari bahwa hidup adalah pembelajaran atau berpegang teguh pada sebuah selogan “belajar sampai mati!”

Dalam konteks kekinian telah muncul berbagai jenis lembaga dan intitusi-intitusi yang menjadi tempat bagi ummat manusia untuk menimba ilmu. Salah satu di antaranya adalah perguruan tinggi atau di kenal dengan universitas yang memiliki fungsi utama yakni berperang melawan kejumudan, ketertingalan, dan kebodohan. Ditempat inilah kemudian lahir individu-individu yang cerdas, kritis dan peka terhadap permasalahan dalam kehidupan manusia secara kolektif. Dengan kata lain disinilah tempat munculnya intelektual-intelektual yang merdeka yang tidak terpenjara pikirannya dengan doktrin-doktrin tertentu dan mindset yang sempit serta pola pikir yang pragmatis. Karena itu
merupakan hal yang naïf manakala motivasi dan kesadaran akan hal tersebut terhapus begitu saja dan tergantikan dengan mental budak yang sama sekali jauh dari “kemerdekaan”.

Berbicara tentang arti merdeka ini mengingatkan saya pada sebuah nasehat yang dijelaskan oleh seorang ulama , tentang tiga jenis ibadah yakni ibadah budak, ibadah buruh dan ibadahnya orang orang merdeka. Ibadah budak adalah ibadah yang dilakukan karena suruhan, ibadah para buruh adalah ibadahnya orang-orang yang mengharapkan imbalan berupa pahala. Sedangkan ibadah yang memiliki nilai tertinggi adalah ibadahnya orang-orang yang merdeka, mereka beribadah karena rasa cinta dan keikhlasan bukan karena imbalan apalagi perintah dan suruhan.

Berkaitan dengan hal ini, tidak ada salahnya jika menggunakan patron ini untuk mengukur seberapa merdekanya para intelektual di suatu tempat. Ketika ia belajar dan mempelajari berdasarkan perintah atau suruhan dosen, misalnya saja membaca hanya ketika dosen menyuruhnya membaca, ia menulis hanya ketika dosen menyuruhnya menulis, maka inilah yang disebut sebagai intelektual-intelektual yang masih bermental budak. Atau mungkin bisa saja mereka yang “hanya” terdorong dengan nilai atau skor A, B, C, atau D yang oleh sebagian pemikir menyebutnya simbol yang belum tentu jujur. Ketika nilai A diperoleh maka itulah akhir dari proses belajar. Sebagai contoh, seorang mahasiswa Bahasa Inggris yang berhenti belajar Writing setelah di akhir semester (Ujian Final) ia memperoleh nilai A.
Sangat disayangkan jika seandainya nilai A menjadi ending process untuk belajar lebih mendalam sementara di saat yang bersamaan, banyak tantangan dan kondisi yang membutuhkan sumber daya manusia yang handal dibidangnya. Bisa dibayangkan apa jadinya daerah ini jika untuk mengurus hal-hal yang pada dasarnya simple, harus mengimpor ahli dari tempat lain karena orang-orang di tempat sendiri sudah berhenti pada standar rendah yang mereka anggap tinggi. Tidak bisa dipungkiri jika ini adalah musibah yang tidak pantas kita syukuri.

Di sisi lain, tidak mustahil jika kondisi seperti ini menjadi motif munculnya credo “Lapangan kerja untuk kita semakin hari semakin sempit” seolah-olah anugerah yang diberikan Tuhan itu begitu sedikit dan terbatas. Data dari BPS menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terdidik di Indonesia tahun 2001 berjumlah 8,1% (8 juta jiwa) kemudian meningkat menjadi 10,3% (10,9 juta jiwa) pada Februari 2005 (Kompas 9/9/05).

Selama “kemerdekaan” itu masih jauh, maka tidak mustahil jika kedepan jumlah pengangguran terdidik akan semakin meningkat dan berjamur bak jamur di musim hujan. Menjadi intelektual yang merdeka, yang tidak hanya menuntut ilmu berdasarkan musim atau cukup dari SD sampai Perguruan Tinggi dengan proses seadanya saja, menjadi kunci untuk perubahan. Konon, hidup adalah perjuangan menuju kemerdekaan dan “Learning Process is as old as human being” , usia belajar itu sama dengan usia manusia. Merdeka!

Tidak ada pengangguran, yang ada adalah ketidakmauan manusia untuk berusaha dan belajar lebih untuk mengolah rizki yang cukup yang telah dianugerahkan oleh Allah.

Rabu, 29 September 2010

Antara Universitas, Agama dan Penyakit Sosial

Oleh Putra Hidayatullah

“University Student must know something about everything and know everything about something”. Kalimat ini kemudian tiba-tiba muncul ditengah-tengah maraknya orang-orang yang berlomba untuk mendapatkan kesempatan belajar di perguruan tinggi. Baik itu mereka yang berpendapatan menengah ke atas maupun sebaliknya. Konon untuk kehidupan yang mapan, belajar di Universitas adalah satu-satunya kunci untuk menjadi pegawai negeri dan jalan termudah menuju masa depan.

Sama seperti kasus tidak ada asap tanpa api atau menurut ilmu fisika “ setiap ada aksi pasti ada reaksi”. Artinya segala sesuatu dan fenomena yang muncul adalah karena sebab. Tuhan menciptakan manusia karena sebab dan tujuan, manusia mencari pasangannya dalam hidup juga karena sebab. Hal yang ini juga berlaku setiap pernyataan atau thesis yang diucapkan oleh orang-orang terkemuka yang dengannya memberi pengaruh dan implikasi bagi banyak orang.

Saya kembali berpikir hingga akhirnya menjumpai sebuah literature yang berkaitan dengan dualisme pendidikan. Dualisme pendidikan yang merupakan usaha untuk menampakkan ilmu pengetahuan dengan wajah dan golongan yang berbeda alias dikotomi secara tidak langsung telah memberi efek domino terhadap ketimpangan yang memberi kontribusi terhadap penyakit-penyakit sosial dalam kehidupan masyarakat.

“University Student must know something about everything and know everything about something” yang berarti bahwa mahasiswa harus mengetahui banyak hal terhadap sesuatu dan paling tidak mengetahui sesuatu dari segala hal adalah sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh seorang yang terkemuka di barat di awal abad 20. Secara sekilas, kalimat di atas sangat inspiratif, artinya ia bisa menjadi patron yang menyokong cara pandang yang membentuk sebuah mindset yang konstruktif terhadap arti penting pendidikan.

Namun siapa sangka ternyata pernyataan ini muncul karena kondisi sosial masyarakat yang mulai terlihat rancu pada waktu itu. Hal ini kemudian terus menerus dan turun temurun terjadi hingga hari ini. seorang yang cerdas tidak lagi bersikap cerdas, seorang yang pandai tergelincir kepada keadaan yang menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai yang luhur. Kehidupan universitas yang mengkotak-kotakkan ilmu pengetahuan secara extreme telah memunculkan balance crisis atau krisis keseimbangan di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.

Setiap individu diarahkan untuk menemukan focus dan terkonsentrasi pada satu bidang tertentu sehingga ia menjadi ahli dan expert terhadap hal yang menjadi bidangnya sendiri. Seorang yang menyukai matematika misalnya akan memilih teknik sipil untuk belajar ilmu teknik dan kemudian menjadi ahli di bidang teknik alias insinyur. Idealnya memang terlihat menarik namun konsekuensi logis dari hal juga terjadi dan bisa menjadi contoh dimana seorang anak bangsa yang belajar di sana disibukkan dan dijejali dengan banyak tugas sehingga mengacaukan keseimbangan. Ia sibuk mengukur tanah namun lupa pada kenyataanya bahwa ia akan kembali ke tanah. Di sana benar-benar terjadi pemisahan yang secara tersirat meneriakkan “Pisahkan agama dari ilmu pengetahuan !”. Saya pernah melihat betapa kewalahannya seorang teman dimana ia bekerja keras siang dan malam dan disibukkan dengan tugas yang lama-kelamaan mengungkung pribadinya dan yang lebih berbahaya adalah munculnya kematian kesadaran sosial yang kemudian melahirkan anaknya yang sah yakni sikap apatis yang melepaskan dirinya dari tanggung jawab atas permasalahan-permasalahan sosial.

Sikap apatis ini juga salah satu akar munculnya sikap tidak peduli terhadap bangsa, memudarkan rasa cinta kepada tanah air, sikap patriot dan nasionalisme. Maka bayangkan saja betapa ironisnya jika seandainya pendidikan di sebuah Negara membantu warga negaranya untuk membunuh rasa nasionalisme dengan memunculkan sikap apatis yang mungkin saja adalah bagian dari hidden curriculum pemerintahnya sendiri.

Haruskah dikotak-kotakkan? Hasil sebuah diskusi dengan seorang teman adalah, menciptakan dikotomi-dikotomi untuk mempermudah menemukan esensi adalah suatu yang positif. Dalam islam ada ilmuan-ilmuan muslim yang ahli dalam bidang filsafat dan ilm, seperti Al-Kindi (803-866), Al-Farabi (950), Imam Al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Rusyd (1126-1198). Ibnu Sina, “The Father of Doctors” (980-1037), Jabir Ibnu Hayyan (721-815) pendiri laboraturium pertama yang merupakan seorang ahli kimia yang terkenal yang buku-bukunya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Al-Khawarizmi (780-850), matematikawan ulung pertama. Mereka semua adalah orang yang tidak memisahkan dari ilmu pengetahuan dengan alasan focus dan konsentrasi, sebaliknya mereka mempelajari lebih dari satu hal untuk memberi kontribusi terhadap khasanah ilmu pengetahuan dan memecahkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sosial dengan tidak mengabaikan hal utama yakni aspek spiritual.

Sebaliknya, mengkotakkan-kotakkan dengan berdalih mempermudah adalah bagian dari taktik yang digunakan agar agama perlahan-lahan terpisahkan dari ilmu pengetahuan. Ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan yang tidak mengantarkan manusia kepada Tuhannya maka ilmu pengetahuan tersebut akan berujung kepada kesia-siaan. Maka bukan tidak ada kemungkinan bahwa dikotomi yang terjadi hari ini akan membawa kepada kehampaan. Di saat jumlah sarjana dan doctor semakin banyak, banyak pula kehancuran terjadi dimana-mana.

“University student must know something about everything and know everything about something” adalah kata yang harus kembali kita dengungkan hari ini mengingat pemisahan diri dan dikotomi-dikotomi dalam ilmu pengetahuan telah memunculkan krisis yang dikhawatirkan berpotensi merusak tatanan-tatanan yang ideal.

Selasa, 21 September 2010

Hidup Kaya, Berkah dan Penuh Gairah

Barang kali tidak berlebihan jika membaca judul di atas. Sekilas mungkin terbayang dalam pikiran kita bahwa hal itu (Kaya, Berkah dan Penuh Gairah) adalah hal yang sangat sulit diwujudkan dan telah menjadi impian hampir setiap manusia dimanapun mereka berada. Siapa sih yang tidak ingin kaya? Dan pilihan untuk menjadi kaya telah menunjukkan bahwa manusia cenderung memilih sesuatu yang menurutnya bisa menyenangkan dan membahagiakan. Contoh lainnya manakala anda diberi pilihan untuk memilih uang dengan jumlah seratus ribu dengan uang yang hanya berjumlah seribu. Tanpa perlu berpikir panjang siapa pun akan memilih uang dengan jumlah seratus ribu.

Hal yang sama juga berlaku manakala secara sadar setiap orang diberi pilihan untuk hidup penuh berkah dengan hidup yang penuh dengan dengan kesengsaraan. Siapa pun tentu akan memilih hidup berkah. Lalu jika demikian sifat manusia, lantas mengapa masih banyak juga orang yang hidup miskin dan sengsara. Apalagi di Negara kita ini menurut data ada begitu banyak jumlah orang yang kurang mampu bahkan dalam sebuah pemberitaan media massa dinyatakan bahwa ada sekian juta orang Indonesia yang hanya mampu mengkonsumsi daging hanya setahun sekali dikarena keterbatasan dan himpitan financial yang mereka alami.

Hidup memang benar-benar sebuah pilihan. Untuk hidup kaya dan berkah, juga merupakan sebuah pilihan. Di sinilah perlunya menjadi cerdas dalam memilih dan memilah. Orang-orang yang hidup tidak bahagia adalah hasil dari sebuah pilihan yang secara tidak sadar telah mereka tetapkan sejak usia mereka muda. Mereka malas berpikir dan mengembangkan diri untuk menjadi pribadi yang penuh dengan skill dan ilmu pengetahuan sehingga dibutuhkan oleh orang lain. bukankah orang yang paling beruntung di dunia ini adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain?

Siapa pun bisa hidup kaya seandainya mereka mau. Anda juga mampu menjadikan diri anda kaya. Tentunya sebelum berbicara jauh, terlebih dahulu kita memaknai bagaimana makna kaya. Kaya adalah banyak dan berkah, oleh karena itu orang yang memiliki uang yang banyak, mobil yang banyak, rumah yang banyak akan dikatakan kaya. Namun benarkah kaya seperti itu? Akhir-akhir ini kaya memang cenderung diukur dengan materi seperti yang saya sebutkan tadi memiliki banyak mobil, rumah dan materi-materi lainnya. Namun pada hakikatnya, hidup kaya tidak semata-mata diartikan dengan memiliki banyak materi.

Hidup kaya adalah hidup yang kaya dengan berbagai potensi yang telah dikembangkan sehingga menjadi contoh dan tampil beda dengan orang-orang yang biasa. Sebenarnya, setiap manusia itu kaya, bahkan terkadang bisa dikatakan kaya raya seandainya kita bisa memisahkan kata kaya dengan orientasinya yakni berupa materi.

Ketika dilahirkan, setiap manusia telah diberikan modal yang tidak sedikit oleh Tuhan yakni indra, akal, hati, kesempurnaan fisik dan yang paling besar adalah kemampuan untuk berpikir yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Lalu sekarang pertanyaannya adalah sudahkah kita hidup kaya? Sekali lagi saya ingin kita melepaskan diri sejenak dari materi yang menurut pandangan sebagian orang itulah hal yang paling penting dalam hidup. Hidup akan menjadi kaya seandainya kita bisa memaksimalkan setiap potensi yang ada. seorang mahasiswa misalnya, ia akan menjadi orang yang kaya manakal ia mengisi hidupnya dengan banyak warna. Disamping menjadi mahasiswa yang bergelut dalam dunia akademis, dia juga memiliki skill menulis, menulis buku misalnya, skill berbicara, mampu menjadi seorang event organizer, menjadi designer kecil-kecilan, belajar menjadi enterpreuneur, menjadi guru dan lain sebagainya. Bayangkan saja, bukankah jika ada mahasiswa yang begini hidupnya akan kaya? Contoh lain mungkin seorang guru SD yang tidak hanya mengabdikan dirinya untuk menjadi guru saja tapi ia ikut mengembangkan dirinya menjadi seorang penjahit, mampu membuat kue dan lain sebagainya. Jika seperti ini tentu hidup tidak akan menjadi miskin malah akan penuh dengan gairah.

Kendala yang menjadi permasalahan utama adalah kecenderungan kita untuk membatasi diri. Seorang penjahit akan mengatakan kepada dirinya “saya memang ditakdirkan untuk menjadi penjahit, jadi tidak perlu mempelajari hal-hal lain, toh dengan menjahit saya juga bisa hidup. Membatasi diri seperti inilah yang memiskinkan hidup. Contoh lain seseorang yang telah lulus menjadi pegawai negeri sipil, dia tidak lagi membaca untuk mengembangkan diri seperti yang pernah dilakukannya ketika masih dibangku kuliah.

Salah satu yang mungkin bisa menjadi contoh bagi kita adalah seorang penyanyi legendaries besar, Iwan Fals, sejak kecil Iwan tidak hanya belajar bernyanyi tetapi berbarengan dengan belajar karate, artinya, meski telah menjadi seorang penyanyi besar, namun dia tidak memiskinkan diri dengan hanya menjadi penyanyi saja. Ada sebuah kata bijak yang menjadi motivasi bunyi seperti ini, “Pastikan ketika engkau berdiri dihadapan Tuhan nantinya, engkau telah mempergunakan segala potensi yang telah dikaruniakanNya untukmu di dunia.

Contoh besar lain misalnya, Rasululla SAW, meski telah menjadi utusan Allah, dia memanjakan diri dengan duduk-duduk santai tapi malah sebaliknya beliau menyibukkan diri berdakwah, berdagang, dan menjadi panglima perang bahkan pemimpin Negara.

Sekarang percayalah, siapa pun bisa hidup kaya dengan mengkayakan kualitas diri dan mengembangkan modal yang telah diberikan Tuhan. Tidak mengherankan ketika telah berhasil mengkayakan diri, maka akan diikuti oleh kekayaan materi. Seperti Mario teguh, ia seorang motivator ulung yang rajin mengembangkan dan meningkatkan kualitas diri sehingga menjadi yang terbaik. Ia pernah berkata, “I never work for numbers. I work to be the best at what I do. I then succed.” Saat ini Pak Mario menjadi motivator ulung termahal di Indonesia. Luar biasa bukan? Karena itu mari mengkayakan diri.

Semangat Menulis

Kalau saya boleh membuat sebuah perbandingan, saya akan mengatakan bahwa menulis itu sama seperti seorang anak kecil yang belajar berjalan. Berkali-kali jatuh kemudian bangkit. Lalu jatuh lagi kemudian bangkit lagi. Beginilah keadaan terus menerus terjadi sehingga seorang anak kecil bisa berjalan bahkan berlari. Menulis juga tidak jauh berbeda dengan gambaran ini. berkali-kali kita menulis dan membaca kembali tulisan kita yang kadang-kadang terlihat bagaikan sampah dan tak layak untuk dibaca bahkan oleh diri sendiri. Namun, apa hendak dikata, itulah bagian dari proses.

“jangan pernah gagal di proses” begitu kata teman saya suatu ketika. Yah, apa pun yang kita lakukan, teruslah mengabdi pada proses walaupun terkadang hasil yang kita inginkan belum tercapai sesuai dengan yang kita harapkan, tapi itu bukanlah sebuah alasan untuk berhenti. Saya sering dan sangat suka penggalan dari salah satu lirik Iwan Fals, “ Tujuan bukan Utama, yang utama adalah prosesnya” kalimat ini memberikan daya magis dan memunculkan motivasi untuk terus menerus bergelut dalam proses hingga tujuan yang saya impikan tercapai.

Sebuah kerugian besar dan mungkin akan menjadi malapetaka yang tidak kecil manakala kita tidak menyadari bahwa kita mampu ataupun dengan cepat memvonis bahwa kita tidak sanggup. Bayangkan apa yang akan terjadi seandainya seorang balita yang berhenti belajar berjalan pada saat pertama ia jatuh. Apa yang akan terjadi seandainya ia memutuskan bahwa ia memang tidak akan pernah bisa berjalan. Astaghfirullah, betapa nikmat Tuhan yang besar itu tersia-siakan begitu saja hanya karena pikiran. Yakni pikiran negative yang berhasil menuntunnya untuk berpikir kecil dan terus menerus merendahkan diri sendiri.

Ketika anak itu tidak berpikir negative dan terus belajar berjalan, yang dia peroleh ternyata bukan hanya skill berjalan tapi juga berlari, bisa bermain bola, dan lainnya. Hal ini juga berlaku dalam dunia tulis menulis. Banyak di antara kita termasuk saya sendiri yang masih bayi dalam dunia ini. merangkak dan terus merangkak kemudian sesekali jatuh. Tetap, harus bangkit latihan dan terus latihan yang kuat agar berhasil.

Tantangan demi tantangan yang muncul pastinya tidak sedikit. Mulai dari mendapatkan ide, mengatur gaya memainkan kata-kata, kehilangan mood, berusaha menjaga motivasi dalam artian bahwa menjaga diri agar tetap konsisten dalam berkarya. Itu semua menjadi makanan sehari-hari yang memang harus siap untuk ditelan mentah-mentah.

Percaya atau tidak, penulis terkenal mana pun di dunia pasti mengalami hal yang sama ketika dulu dia belajar menulis. Banyak hambatan, tantangan, dan rintangan. Namun modal utama yakni focus dan konsisten menjadikan mereka berhasil dan dikenal. Hal-hal seperti ini tentu bisa menjadi bahan renungan bagi para penulis pemula yang memang bertekad kuat untuk menjadi penulis.

Sabtu, 18 September 2010

Menulis Diary

Apakah anda pernah menulis diary? Yah, menulis diary dipandang sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan yang identik dengan sifat lemahnya. Maka karenanya, jika ada lelaki yang suka menulis diary, maka lelaki itu akan dipandang rendah dianggap sebagai perempuan.

Ada yang berpendapat bahwa wanita adalah makhluk yang paling mulia dan kuat. Lihat saja bagaimana keteguhan perempuan manakala melahirkan. Dosen saya pernah mengatakan mengenai kekuatan perempuan. Jika seandainya saja setiap perempuan berhenti menonton sinetron maka para produser sinetron di tanah air akan bangkrut. Begitu berapa banyak ibu-ibu yang bisa menonton sinetron kendatipun suaminya tidak menyukai sinetron. Para suami tidak punya pilihan selain keluar dan menonton di luar rumah demi ibu-ibu. Ada juga sebuah anecdote yang mencoba menggambarkan bahwa perempuan lebih kuat dari pada laki-laki, buktinya obat kuat saja dijual untuk laki-laki bukan untuk perempuan yang nyatanya kuatnya sudah dari sononya.

Kembali lagi ke dalam hal tulis menulis diary, pernahkan anda mengikuti seminar atau pelatihan menulis? jika anda mengikuti seminar atau pelatihan menulis, kemungkinan mereka akan menyarankan bahwa salah satu cara agar tulisan mengalir indah seperti air adalah dengan menulis diary. So apa salahnya menulis diary?

Tidak hanya itu, ternyata menulis diary itu memberikan banyak manfaat, salah satunya ialah ia dapat mengurangi beban dan stress atau hal-hal yang menyesakkan dada. Diwaktu dilanda musibah ataupun hal-hal yang kurang menyenangkan, cobalah memejamkan mata anda, sejenak niatkan dalam hati dan bayangkan anda akan menumpahkan segala hal-hal yang tidak membahagiaakan itu di atas sebuah kertas. Kemudian mulailah menulis. Tuliskan sepuas hati anda hingga anda merasa bahwa setiap beban itu sudah hilang dengan sendirinya. Gampangkan?

Di jerman, setiap pekerja bangunan ketika mereka pulang dari tempat kerja akan menyempatkan diri untuk menulis, menulis apa saja yang membuat mereka merasa nyaman dan menyenangkan.

Mulailah menulis diary,Suatu saat nanti, akan menjadi sebuah hiburan tersendiri manakala anda membaca kembali tulisan-tulisan di diary yang pernah anda tulis. Menulis atau pun menulis diary adalah pekerjaan perempuan adalah sebuah mindset usang yang sudah saatnya kita buang jika ingin lebih produktif dan sukses. Mari menulis!

Bangsa Dengan Banyak Cerita

Dengarlah aku berkisah! Aku ingin bercerita tentang sebuah bangsa.
Mereka adalah yang sering tertawa dan kemudian menangisi tawanya itu.
Dan jika engkau bertanya mengapa? Mereka akan menjawab, menelan ludah sendiri itu lebih baik ketimbang menelan ludah orang lain.
Dan jika mereka melihat sang arif, mereka akan menjauh dan berkata,
“jangan dekati ia, hidupnya penuh dengan larangan-larangan. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dan perutmu akan kosong”

Lihatlah, mereka cenderung memikirkan perut. Padahal dengan hanya memikirkan perutlah hati dan akal  berubah jadi tumpul. Dan jika hati dan akal telah mati, maka jadilah kita makhluk yang tidak berguna. Bagaimana kita akan berkata bahwa kita seorang raja yang hadir untuk mengisi perut orang lain sementara kita tidak bisa melupakan perut kita sendiri walau sedetikpun?

Lihatlah...
Mereka cenderung memilih televisi yang menghadirkan khayalan-khayalan untuk menyesakkan jiwa mereka ketimbang buku-buku yang bisa membesarkan pengetahuan.

“Jangan membaca, karena itu adalah hal yang memalukan” Mereka belagak seolah seorang penasehat.

Dan itulah sebabnya mengapa bangsa itu nampak kecil di mata bangsa lain hingga hilang dan mungkin akan tinggal nama sebagai lambang dan lambang sebagai nama. Disana kejahatan tumbuh sehat dan meloncat-loncat dengan riang gembira dimana-mana. Televisi menjadi mesin penghancur yang menumpulkan hati dan pikiran. Hanya sedikit dari padanya yang memberi pelajaran tentang hidup. Dan yang lebih menggelikan lagi mereka tidak menyukai tontonan-tontonan yang segar itu.

Ada banyak lagi cerita bangsa. Maka tulislah olehmu, tulislah dengan lidahmu, rekamlah dengan hatimu dan  susunlah dengan pikiranmu satu persatu. Karena kita punya kewajiban yang sama untuk menghadirkan cermin agar kita bisa melihat bagaimana wajah kita sebenarnya.

Rabu, 04 Agustus 2010

Facebook Between Angel and Demon

Semua hal di dunia ini memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi. Begitu juga segala aktifitas yang kita lakukan juga akan memberi pengaruh terhadap apa yang akan kita alami kedepan. Contoh kecilnya adalah facebook. Jejaring sosial yang ditemukan oleh Mark Zuckerberg ini ternyata mampu memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap mental dan tingkah laku masyarakat.

Seiring berjamurnya warung kopi yang turut dilengkapi dengan koneksi internet, maka semakin menambah pula jumlah kuota masyarakat yang bersantai ria di warung kopi. Yang paling dominan terlihat adalah para mahasiswa. Mereka seperti sangat antusias dengan sebuah laptop di atas meja, segelas kopi dan mungkin sambil menghisap sebatang rokok. Sekilas seperti sedang sibuk dengan tugas akademis yang harus mereka selesaikan. Namun yang memang melakukan tugas akademi itu ternyata hanya segelintir. Lalu apa yang dilakukan oleh sekian banyaknya pemuda lainnya? Berjam-jam waktu terhabiskan disana?

Memang terdengar paradoks. Tapi itulah realita. Keberadaan facebook telah menguras waktu para pemuda/mahasiswa untuk bersantai ria dengan permainan seperti Poker, Mafia War dan lain sebagainya. Dikhawatirkan, ketika permainan itu lepas dari control, misalnya ditekuni dari sejak pagi sampai sore, atau bahkan begadang sampai pagi, maka akan member efek yang tidak baik.

Lain halnya dengan apa yang terjadi di kantor-kantor yang notabenenya melayani public. Banyak para pengawainya yang lalai dengan jejaring ajaib ini. mulai dari pagi, sudah terlihat yang mulai mengakses aplikasi ini. tentu saja tidak semuanya tapi yang pasti banyak yang suka. Akses yang gratis itu dibayar dengan uang public dan sangat disayangkan jika gara-gara akses ini pula, pelayanan terhadap masyarakat menjadi kurang maksimal.

Namun demikian, facebook juga tidak terlepas dari hal-hal positive yang bisa menghubungkan kita dengan orang lain atau dengan kata lain memperluas silahturrahmi. Namun ketika ia disikapi secara berlebihan maka ditakutkan akan memberi efek domino terhadap keadaan bangsa seperti yang dikatakan dalam pepatah jepang, “gara-gara tidak ada paku, tapal kuda terlepas. Karena tapal kuda terlepas, surat jadi tak sampai. Karena surat tak sampai, kita jadi kalah perang” . Mungkin seperti itulah gambaran tentang bagaimana hal-hal kecil bisa berdampak besar dalam kehidupan. Semoga kita adalah orang-orang yang sadar dan mengerti akan hal ini sehingga sedikitnya bisa menjadi peredam yang bisa mengontrol lajunya ketidakwajaran ini. amiin. 

Senin, 19 Juli 2010

Kontekstualisasi Pendidikan di Bumoe Endatu

Oleh Putra Hidayatullah

Kalau kita mulai dari yang paling mendasar, kita akan sadar bahwa manusia telah dilahirkan dalam keadaan lemah dan kosong. Dari kekosongan dan kedhaifan ini kemudian ia tumbuh. Mungkin akan sangat cocok bila hal ini kita analogikan dengan sebuah kaset yang lambat laun akan merekam segala yang dirasakan oleh indra, baik itu ucapan-ucapan, ajaran, maupun sugesti lainnya. Segala bentuk sugesti itu kemudian membentuk diri seseorang. Refleksi dari setiap sugesti ini akan menentukan kualitas manusia baik itu positif maupun negative yang di akhirnya juga akan menentukan bagaimana peradaban sebuah bangsa. Manakala manusianya hidup sebagaimana seharusnya maka akan lahir sebuah peradaban yang mungkin dikenang oleh generasi berikutnya.

Berbicara tentang peradaban ini akan mengingatkan kita pada fakta bahwa Aceh adalah tanah warisan endatu yang juga pernah memiliki peradaban yang gemilang di masa lampau. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Iskandar Muda, seorang raja yang namanya hingga hari masih dikenang dan masih saja menjadi bahan diskusi beberapa teungku-teungku di hampir setiap warung kopi. Pembicaraan tentang kejayaan masa lalu ini tidak akan habisnya dan ini adalah salah satu ciri khas orang Aceh. Sadar atau tidak hal ini menyiratkan bahwa mereka punya secercah keinginan untuk menjadi lebih baik.

Untuk membentuk peradaban yang mumpuni dan mengarah kepada humanisme perlu adanya kualitas manusia baik yang berbasis spiritual, moral dan intelektual yang hanya bisa diwujudkan melaui melalui proses pendidikan.

Dinamika yang terjadi dalam dunia pendidikan seperti pergantian kurikulum yang beberapa kali dilakukan adalah merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dalam orientasi dan tujuan yang berupa “Behaviour Change”, perubahan sikap untuk menjadi lebih baik. Karena itu tidak salah jika ada tokoh yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah memanusiakan manusia menjadi manusia. Instrument behavior change inilah yang seharusnya telah berperan di negeri ini manakala tingkat pelanggaran norma-norma, tindakan asusila semakin merajalela. seperti korupsi, penipuan, politik kotor, saling menghujat dan lain-lain.

Contoh dari kasus di atas tidak jarang kita temukan dalam keseharian kita. Bahkan jika kita telisik lebih dalam,setiap hari ada saja yang sedang melakukan pelanggaran. Kemudian sesekali muncul kepermukan layaknya fenomena gunung es di tengah lautan seperti kasus pembocoran soal UN, suap menyuap dan nepotisme. Beginilah konsekuensi logis dari “penganaktirian pendidikan”. Persis sekali seperti yang dilantunkan oleh Iwan fals, “Pendidikan adalah anak tiri yang kesepian”. Pendidikan seperti sebuah bentuk yang mulai kehilangan esensi. Alih-alih untuk memanusiakan manusia, malah banyak output dari pendidikan itu menjadi actor dalam banyak kejahatan.

Di pertengahan abad 16, seorang filsuf dan negarawan asal Inggris, Francis Bacon pernah mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan telah beralih fungsi dari pencarian kebenaran berubah kearah pencarian kekuatan. Bacon mencoba menggambarkan bagaimana proses distorsi orientasi pendidikan yang saat itu terjadi.

Bukan bermaksud meniru pernyataan seorang Bacon, namun bau tidak sedap ini seperti mulai tercium dari realita yang terjadi di tengah-tengah hiruk-pikuk atmosfir sosial. Fungsi utama dari ilmu pengetahuan seperti mulai lari dari konteks yang sebenarnya. Distorsi pendidikan hari ini juga terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat aceh. Kalau Francis Bacon mengungkapkan fenomena dari pencarian kebenaran menuju pencarian kekuatan (untuk berperang), hari ini mungkin kita juga bisa mengatakannya dengan “ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya memanusiakan manusia menjadi manusia telah beralih fungsi dari pencarian kebenaran menuju pencarian reputasi, harta, dan jabatan yang belum tentu membuat manusia benar-benar bersikap sebagaimana layaknya manusia”.

Di lain sisi, salah satu warisan unik dari pendidikan kita adalah sebuah sikap yang tidak menghargai intelektual. Lihat saja keadaan pemudanya yang rela mengabiskan waktu untuk bermain poker , facebook, domino dan lainnya. Belum lagi di jalanan yang penuh dengan bunga-bunga cinta apa lagi di malam minggu. Lihat saja berapa orang yang menggunakan waktu untuk membaca ketimbang menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Percaya atau tidak, lambat-lambat laun perjalanan manusia mulai mengarah kepada hedonisme.

Hal ini terjadi karena sebuah mindset yang telah menjadi falsafah hidup dan selanjutnya merubah orientasi hidup menjadi begitu sempit dan hampa. Track hidup pun menjadi begitu mudah terlihat dan instan untuk ditebak. Lahir, sekolah, kerja dan nikah. Sepertinya beginilah siklus eksistensi bangsa endatu yang mulai berlangsung turun temurun. Kalau kita kaji lebih dalam, ini adalah sebuah bentuk pengebirian dan pelanggaran yang dilakukan manusia hari ini untuk dirinya sendiri. Potensi-potensi dasar seperti kasih sayang, saling menghormati, persaudaraan, dan kesadaran untuk mengembangkan diri serta potensi manusia dan sifat kemanusiaan lainnya menjadi mati dan tergantikan dengan sikap egois untuk kepentingan diri dan keluarga sendiri, yang sangat mungkin mengarah kepada nepotisme dan akhirnya berbuah apatisme. Seolah-olah ada pesan abstrak yang tersirat dalam alam pikiran manusia bahwa kita harus berlomba-lomba untuk menjadi kaya raya agar kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Akibatnya cara-cara instan akan dilakukan dengan mengabaikan proses yang pada hakikatnya menjadi pembentuk jiwa yang bijaksana. Misalnya ketika saatnya menyelesaikan jenjang pendidikan di perguruan tinggi, di sana akan ada beberapa calon “sarjana” yang menyewa otak orang lain dan membayarnya dengan jumlah nominal yang tidak sedikit demi tercipta sebuah skripsi untuk melicinkan perjalanan menuju masa depan yang lebih baik.

Fenomena sosial yang tidak mengenakkan mata hari ini walau bagaimanapun adalah warisan dari pendidikan dan seyogyanya kita tidak mudah tertipu dengan slogan-slogan bias. Butuh penglihatan yang intens untuk bisa menguak hal-hal yang tidak terlihat dengan mata biasa dan dengan itu mudah-mudahan bisa menjadi batu loncatan untuk perubahan terutama dalam diri setiap individu.
Untuk mencapai tujuan dan pendidikan tak teranaktirikan, maka juga perlu sentuhan dari setiap kita. Alangkah indahnya manakala yang tua menjadi guru bagi yang muda dan yang muda juga menjadi guru bagi sesamanya tanpa diiringi sikap saling menggurui.
Pendidikan bukan sekedar pengajaran. Tapi ia lebih dari itu, pendidikan adalah bimbingan dan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan tetapi kepribadian /akhlaqul karimah bahkan untuk tujuan itu Rasulullah Muhammad saw diutus.

Dimuat di Harian Aceh, 12 Juli 2010

Sabtu, 22 Mei 2010

Puisi ke 127

Puisi ke 127

Saat terjaga..
kuperhatikan sekujur tubuh..
kukecup bibirku yang berdarah. Kemudian dengan lunglai kubersimpuh pada kepala yang tak lagi bergeming. kuberkata pada jasad, seberapa banyak pemberian Tuhan ini telah terisi dengan ilmu pengetahuan. Lalu kuraba jantungku yang tidak lagi berdetak dengan tangan yang gemetar. seberapa banyakkah kebencian dan dengki telah tumbuh di sana? Seberapa banyak murka yang telah kau tumpahkan untuk mengotori kesucian dan kemanusiaan?
Oh.. Akankah air mata ini mampu menyapu semua hitam itu?
Rohku kemudian beranjak dan berdiri dengan mata sayu dan menatap kedepan dengan penuh keputusasaan.
Kudengar gemericik air yang terus mengalir lirih. Kurasakan dingin yang ingin membekukan segalanya. Angin kini menjadi sahabat. Aku datang sendiri dan akan pergi sendiri. Melewati desa-desa, kota,pegunungan dan benua. Lima bidadari mengajakku pergi. Tangan-tangan lembut mereka ingin memandu rohku. Sekali lagi kulihat kebelakang. kutatap tubuh pucat yang telah terkapar. Saat kembali, kulihat arah tuju, dengan cepat bara neraka menyapa dengan beringas!

Senin, 10 Mei 2010

untitled

saya kembali menyadari akan betapa pentingnya menulis setelah membaca beberapa blog dari teman-teman. terinspirasi memang. dan beginilah seharusnya. ketika kita bisa memberi inspirasi , perubahan,dan ilmu bagi yang lain, maka saat itulah kita sedang melakukan sebuah perubahaan. sebagai pemuda sudah selayaknya kita menciptakan dan memberikan sesuatu untuk bangsa. karena, percaya atau tidak, realita terus berbicara. kita tentu bisa melihat banyak ketimpangan yang sedang terjadi. mulai dari lapisan terkecil yaitu keluarga hingga pemerintahan. kita harus sadar dengan ketidakwajaran yang telah menjadi falsafah masyarakat dan pemuda. ketimpangan ini akan terus terjadi dan akan diwariskan secara turun temurun sehingga tidak heran ketika banyak hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan menjadi sebuah kewajaran.

sebagai seorang pemuda, maka merupakan sebuah kewajiban untuk melakukan perjuangan meskipun itu hanya satu langkah kecil. harus kita ingat bahwa melangkah itu penting dan maju stengah langkah itu lebih baik daripada tidak sama sekali. kita punya banyak cara. salah satunya adalah menulis. maka disinilah, sebagai anak bangsa saya akan memulai. Belajar menulis, belajar menciptakan dan berbuat sesuatu untuk orang lain karena,

"pena lebih tajam dari pada pedang"