-------

Jumat, 28 September 2012

Bara


Di pinggir hutan
Suara jangkrik bersahutan
Gemericik air mengalir lirih
Bebatuan membelah arus
Ikan-ikan bercengkrama di bawah terang bulan
Cahayanya menyepuh permukaan sungai
Lalu pantulkan wajah kita.
Terbentuk dua raut merona
Dalam hatiku
Dalam hatimu
Cinta kita membara


Rawa Sakti 29 September 2012

Jumat, 21 September 2012

Pengaruh Khutbah

Jadi, tadi saya pergi salat jum'at. Saya senang karena sudah beberapa kali mendengar kuliah dari sang khatib. Bisa dikatakan beliau dikaruniai bakat retorika yang menakjubkan.

Senin, 17 September 2012

Dek Natasha


Merah sirup cap patong warna bibirmu. Tipis seperti seulas jeruk. Rautmu merona menjalar menghangatkan dada. Ah... Aku jadi salah tingkah.

Dek Natasha, aku ingin ke pantai. Maukah kau menemani? Kita biarkan butiran pasir merekat di kaki kita manja. Kita tatap kurungkom-kurungkom berlarian lincah mencari lobang masing-masing. Aih, betapa pemalunya mereka. 

Lalu tanganmu yang lembut bagai kapas itu, aku menggenggamnya erat. Kau menatap wajahku lamat. Senyummu merekah membentuk lesung pipit mungil dengan pipimu sedikit memerah. 

Tak sadar kita lewati waktu. Dan matahari pun padam. Perlahan kita berenang dalam cangkir surgawi. Kita mencium bau masa depan. Kita dengar suara anak-anak kita tertawa cekikikan. Aih... indahnya. 

Fajar menjelang. Gemuruh ombak buat kita terjaga. Tampak perahu nelayan mulai beranjak pulang. Kecil, membesar dan semakin dekat. Seperti bara asmara di hati kita. Hening. Lalu kau mendekatkan bibirmu ke telingaku dan berbisik, 

            "Terimakasih, Cinta" 


(Lututku bergetar. Tolong, aku speechless!)

Minggu, 16 September 2012

U Beu Beukah

Tamat kuliah saya senang. Saya bisa lebih fokus pada kerja. Suatu ketika (sebelum tamat) saya pernah duduk dengan ibu dan mengatakan bahwa saya sudah dapat kerja. "Apa kerjamu?" dengan santai saya menjawab, "menulis" Ibu saya tersenyum. Saya tahu apa maksud senyum itu. Memang pekerjaan menulis tampak tak begitu menjanjikan. Apalagi jarang sekali ada orang di sekeliling saya yang sukses karena menulis.

Saya pernah beberapa kali menjadi penerjemah untuk pendatang asing dari Amerika dan Australia. Setiap menjadi interpreter saya selalu berusaha membuka corong diskusi. Saya ingin tahu apa rahasia orang-orang Eropa, Amerika dan yang serumpun dengannya hingga bisa menjadi manusia unggul di segala bidang baik di sepak bola, film, sastra, musik, sains, dan teknologi. Dari beberapa diskusi dan hal-hal tersirat yang saya dapat dari mereka, intinya adalah fokus dan kerja keras. Mereka bekerja  berdasarkan passion alias apa yang mereka sukai dan nikmati. Jika mereka memiliki ketertarikan dalam dunia tulis menulis, maka mereka akan bekerja keras untuk itu. "If you want it why don't you work hard to achieve?" (Jika kamu ingin itu, mengapa kamu tidak bekerja keras untuk itu?)

Mereka begitu menjunjung tinggi semangat totalitas. Saya menemukan ramai orang di sekeliling tidak begitu. Kebanyakan menginginkan sesuatu tapi tidak dengan kerja keras. Contoh kecil ada di universitas. Saat kuliah saya sering menjumpai teman-teman mengeluh karena dosen-dosen tertentu memberinya nilai sedikit. Mereka kadang berbuih-buih membicarakan si dosen yang seolah tak pantas memberi nilai se-sedikit itu untuknya. Padahal kalau dilihat dari kinerja dia selama satu semester, dia lebih layak mendapat nilai lebih rendah dari yang dosen telah berikan. Pada titik ini secara tidak sadar kita telah menjadi pribadi-pribadi instan. Untuk menjadi seorang pegawai tak perlu belajar, cukup mencari segepok uang lalu menyogok. Untuk menjadi seorang guru cukup dengan membangun relasi (kalau tak ingin disebut menjilat) dengan orang-orang tertentu. 

Dalam bahasa Aceh ada adagium "u bek beukah, kuah beuleumak" yang maksudnya mencapai sesuatu dengan tidak mengorbankan apa pun. Inilah yang sedang gencar-gencarnya dipraktikkan oleh orang-orang. Bukan tidak bisa mendapatkan sesuatu dengan tanpa mengeluarkan keringat. Bisa.  Tapi cara-cara yang cenderung politis itu bisa menzalimi orang lain yang lebih pantas dan memiliki kapasitas. Dan tidak hanya itu, dampaknya bisa meluas. Misalnya seorang guru yang lulus karena "main belakang" bisa dibayangkan bagaimana dengan kapasitas minim ia akan "menipu" murid-murid. 

Perilaku gandrung instan ini sifatnya menyebar. Dari beberapa orang yang saya temui, ada yang  sudah menganggap itu lumrah. Untuk menjadi pegawai di sebuah instansi tinggal mencari orang dalam. Istilahnya kita lebih mengandalkan koneksi ketimbang kompetensi. Bukan tidak mungkin orang-orang yang sebenarnya memiliki potensi tetap memilih cara instan ini. Ambil saja murid dalam sebuah kelas sebagai contoh. Saat murid-murid yang malas bisa dengan cara-cara ilegal mendapat nilai yang bagus, murid-murid yang pandai dan rajin bisa jadi tak tinggal diam. Untuk apa belajar rajin-rajin hasil sama saja dengan mereka yang malas. Ujung-ujungnya semua membudayakan budaya malas. Malas belajar, malas membaca, malas mencari dan lainnya.

Kembali pada saya. Saya sementara ini masih bersikukuh pada pendirian ini. Sampai hari ini (tak tahu besok) saya tak ingin mengambil cara-cara instan itu. Walau pun saya punya koneksi yang bisa menghubungkan saya ke sana. Saya kasihan saja pada diri sendiri. Entah mengapa saya jadi berpikir bahwa orang-orang yang pakai jalur belakang itu adalah orang yang tidak jantan. Tidak mandiri. Hampir bisa disamakan dengan seorang pemuda yang sudah berkumis tapi masih perlu ditemani ibu untuk membeli baju lebaran. Saya ingin bereksperimen dengan diri saya sendiri. Dan saya akan mencoba bekerja keras untuk itu. Saya percaya bahwa Tuhan telah menitipkan harta karun dalam diri saya. Saya harus menggalinya sendiri. Dengan keringat sendiri. []


Orientasi

Tadi pagi saya ke pantai memenuhi undangan acara orientasi mahasiswa baru. Saat tiba ada beberapa dosen yang sedang berbicara di bawah pohon. Saya yang baru sampai dengan seorang teman langsung menyambangi dan berjabat tangan. Lalu duduk di terpal biru tepat di samping mereka. Sayangnya kami seperti lintah kena bakong. Dalam hati saya berharap setidaknya mereka mau bertanya kabar kami, apa pekerjaan kami setelah menjadi alumni atau apa rencana ke depan. Tapi tak ada yang melirik atau memberi sinyal bahwa mereka ingin berkomunikasi. 

Lalu kami berangkat melihat adik-adik leting baru yang sedang mengunjungi pos demi pos yang sudah dibentuk oleh panitia seperti  pos mental, pos kepemimpinan, pos kesenian, pos agama dan lain-lain. Mahasiswa baru dibagi menjadi beberapa kelompok kemudian setiap kelompok akan mengunjungi pos demi pos. Di masing-masing pos ada sekitar empat atau lima instruktur. Di antara semua, pos mental-lah yang paling banyak digemari oleh kakak dan abang-abang kelas. Di pos ini setiap mahasiswa baru itu diuji mentalnya. Dibentak, dihardik, dan sejenisnya sampai ada yang meneteskan air mata. 

Saya tidak tahu apakah memang begitu seharusnya pos mental. Saya lumayan canggung saat beberapa teman menyuruh anak baru menjumpai saya dan memancing saya untuk membentak.  Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Saya kerap membayangkan diri saya ada pada posisi mereka. Bagaimana jika saya yang berjalan di bawah terik, melawan kelelahan, kemudian ketika sampai di tempat (pos) bukan untuk istirahat tapi untuk menghadapi tekanan. Lucunya lagi ketika abang-abang dan kakak-kakak sudah lelah, mereka bisa mengambil bekal yang sengaja disuruh bawa jauh-jauh hari pada adik leting. Sekilas ini mirip kehidupan dengan kasta yang ekstrim. Anak baru bisa diibaratkan sebagai kaum proletar dan mahasiswa lama sebagai kaum aristokrat. Kalau dilihat dari jauh, ini mirip  miniatur sejarah perjalanan manusia. Yang kuat kerap mengatur (kalau tak ingin dikatakan menindas) yang lemah. 

Suara hati saya berkata begitu. Kalau saya mengikuti arus, saya merasa tidak nyaman tapi kalau tidak, saya akan dianggap beda atau aneh. Akhirnya saya juga ikut-ikutan. Tapi dengan standar bahwa anak-anak itu tidak marah pada saya. Kalau ditanya apakah orientasi seperti itu bagus atau tidak, saya belum bisa langsung jawab tidak. Akan ada alasan bahwa ospek itu bagian dari pendidikan. Mungkin permasalahannya bagaimana cara kita memaknai pendidikan. Sebagian menganggap begitulah turunan dari hakikat pendidikan. []


Akal Sehat

Membangun akal sehat itu sulit sekali. Sama seperti merawat seorang bayi. Membangun akal sehat itu penuh dengan gangguan dan godaan bahkan ancaman. Akal sehat tak lahir dari fanatisme. Kadang-kadang akal sehat dan fanatisme saling bermusuhan. Pertanyaannya mana lebih penting antara akal sehat dengan fanatisme? Akal sehatlah yang bisa menjawabnya dengan sehat. Kesemrawutan yang terjadi di sekeliling kita bisa dikatakan hampir sepenuhnya berasal dari akal yang tidak sehat.

Rabu, 12 September 2012

Jumpa Pak JJ

Tadi pagi waktu ke kampus saya jumpa dosen academic writing saya dulu, Pak Jarjani Usman. Kalau sering baca koran Serambi Indonesia sudah pasti akrab dengan nama ini. Beliau  penulis tetap kolom tafakur di SI. Saat ini Bapak itu sedang melanjutkan pendidikan S3 di Australia. Karena sedang penelitian beliau pulang ke Aceh. Kalau tidak salah saya katanya tiga bulan di sini setelah itu balik lagi ke Australia. Yang membuat saya terkejut adalah pertanyaannya saat saya berjabat tangan, "Betul kamu yang menulis di Serambi kemarin?" Mata saya langsung berbinar. Dengan sedikit tergeragap saya bilang iya. "Lagi belajar juga, Pak" saya tersenyum. "Bagus itu. Menulis itu perlu. Melatih berpikir dan menyampaikan gagasan. Kalau di luar negeri, menulis itu penting sekali. Saya dulu juga begitu. Tulis terus," katanya bersemangat. Saya hanya tersenyum sedikit malu-malu meski dalam hati senang betul. 

Saya merasa semangat dalam diri Pak Jarjani keluar perlahan dari tubuhnya seperti asap hitam lalu perlahan masuk ke otak hingga ke kedalaman jiwa. Semangat menulis saya melambung seperti balon gas. Ingin rasanya menulis segala hal yang ada di dunia ini. Tapi masalahnya adalah writer's blog. Tak tahu apa yang hendak saya tulis. Saya menganggap ini kejahatan dan penjajahan yang dilakukan oleh pikiran saya terhadap diri saya sendiri. Oh Tuhan, sampai kapan derita ini akan berakhir? sudah lama sekali saya berusaha supaya pikiran ini bebas bertelur tanpa teror dan bisikan yang mengatakan begini, "jelek sekali ini, tulis lain saja" begitulah berulang-ulang. Untung di blog. Kalau di kertas, kamar saya bisa tenggelam dalam gumpalan-gumpalan kertas yang berbentuk bola itu. 

Kalau ada yang bilang bahwa menulis itu gampang-gampang susah, itu penipuan. Kata gampang dipakai hanya untuk memotivasi saja. Kalau dibilang susah saja takut runtuh semangat orang yang hendak belajar menulis. Iya, faktanya memang demikian. Saya pernah bergadang dari pagi sampai malam (ah malas kuhapus, maksudnya dari malam sampai pagi) hanya untuk sebuah tulisan. Bayangkan berapa jam. Durasinya hampir sama seperti orang kerja bangunan. Bedanya kerja bangunan pakai otot, tapi nulis pakai laptop (ya iyalah) pakai otak maksudnya. Jangan anggap bekerja pakai otak tidak lelah. Malah lebih mengerikan lelah otak ketimbang lelah otot. Kalau lelah otot, kita masih bisa merebahkan badan hingga tertidur pulas. Tapi kalau lelah otak? memejamkan mata saja susah. Mungkin karena itulah mengapa dalam banyak hal, orang yang bekerja dengan otak lebih mulia ketimbang orang yang bekerja dengan otot. 

Menulis memang susah. Gene Weingarten saja bilang begini, "mereka harus memahami bahwa menulis itu sulit. Jika tidak sulit, berarti mereka tidak melakukannya dengan benar." Karena menulis itu sulit, ada sedikit perubahan mindset pada diri saya selama ini. Saya mulai menghargai teks dan menghargai penulis teks tersebut karena proses kreatif itu tidak mudah. Tapi walau pun demikian, ada pepatah mengatakan bahwa pelaut ulung tidak dilahirkan oleh laut yang tenang. Karena itu, jika punya cita-cita menjadi penulis, harus siap melawan badai dan cobaan-cobaan yang kadang menyengsarakan. 

Yang jelas, pertemuan saya dengan Pak JJ (Jarjani Usman) sedikit tidaknya telah membangkitkan semangat saya menulis meski kadang-kadang saya tidak tahu apa yang hendak saya tulis. 


Salam!

Puisi Cinta (?)

Cinta adalah ingus kering yang lama bertengger pada bulu hidung yang rimbun. Godaan untuk menggerakkan kelingking sama nikmatnya ketika mencongkel. Tapi begitu eksplorasi selesai, kita berpaling dan baru kembali bergairah ketika ingus lain hadir.

Cinta adalah taik lembu yang jatuh ditengah aspal. Awalnya tampak segar dan meyakinkan.  Namun lama-kelamaan memudar, kering hingga jadi debu dan beterbangan. Ketika masa itu tiba, hujan tak punya makna. Cinta adalah taik lembu. Keduanya jatuh bukan semata karena gravitasi.

Cinta adalah panci peyot. Dan akan selamanya peyot kalau kau lupa mengetoknya dengan palu pernikahan.

Jumat, 07 September 2012

Jadi PNS?

Setelah membaca tulisan saya tentang PNS, seorang teman bertanya, apakah saya masih mau jadi PNS . Saya memang pernah dengar dari beberapa orang bahwa ada hal-hal 'lain' yang terjadi ketika kita sudah jadi PNS. Suatu ketika seorang kenalan saya menulis tulisan yang bagus di facebook. Beberapa orang  memberi komentar pada tulisannya itu. Di antara semua, komentar yang paling menarik  adalah, "kamu punya potensi. Jangan jadi PNS ya!"  Membaca komentar itu saya terkejut dan berpikir bahwa yang masuk PNS itu adalah orang-orang yang tidak  punya potensi atau bisa jadi penulis komen tersebut   menemukan beberapa temannya yang pada dasarnya memiliki potensi tapi ketika jadi PNS mereka jadi tak berkembang.  

Yang pasti untuk tahu persis maksud si kawan, kita mungkin harus jadi PNS terlebih dahulu. Tapi kembali pertanyaan, apakah saya masih mau menjadi PNS? Begini, saya punya ketertarikan khusus pada dunia pendidikan atau dunia akademis. Dan ketertarikan ini datang begitu saja. Kadang-kadang ketika duduk sendiri saya membayangkan sedang mengajar dalam kelas dan mahasiswa mendengar saya dengan khidmat. Ketika pulang ke rumah saya bergelut dengan buku-buku kesukaan saya (saya suka buku) dan saya mempunyai waktu khusus untuk menulis. Itulah gambaran yang ada dalam pikiran saya sementara ini mengenai  masa depan. Tentunya jika Allah masih memberi kesempatan dan umur yang berkah. Dosen sekaligus teman dekat saya pernah memberitahu bahwa mengajar itu pekerjaan yang mulia. Bisa jadi amal dunia akhirat kalau kita menggelutinya dengan tulus.

Di lain waktu, kawan lain juga bilang saya cocok jadi praktisi pendidikan semisal guru atau dosen. Dan menariknya, itu adalah salah satu goal saya ke depan. Saya sedikit merasa bahwa legenda pribadi saya ada di sana (selain menulis). Sedikit perbedaannya adalah, saya tak suka jadi guru. Saya punya passion untuk jadi dosen. Kenapa demikian? apa karena gajinya lebih banyak? Bisa jadi. Tapi yang lebih mendasar adalah terkait dengan pengembangan diri. Saya punya pengalaman mengajar di SMA alias jadi guru selama beberapa bulan. Kebetulan saya berkuliah di jurusan bahasa inggris. Jadi, ketika saya berbicara dengan siswa, mereka tidak mengerti. Mereka bilang bahwa bahasa inggris saya terlalu cepat (padahal menurut saya biasa-biasa saja) dan kosa kata yang saya pakai terlalu tinggi. Maka saya beradaptasi dengan mereka. Berbicara lebih pelan (kata per kata) dan menggunakan kosa kata umum (bahkan paling umum semisal I go to school everyday) Saya berpikir jika selama bertahun-tahun saya jadi guru di SMA, alih-alih berkembang malah besar kemungkinan kemampuan (bahasa) saya menurun. 

Selain itu pula, menurut saya mengajar di universitas itu lebih bergengsi dan cakupannya lebih luas. Sesuai dengan asal katanya, "universe" yang berarti alam semesta. Sehingga dari kata inilah kemudian lahir kutipan menarik "University student must know something about everything and know everything about something" Universal. Alasan lain adalah mengajar orang dewasa lebih mudah ketimbang anak-anak. Saya juga pernah mengajar mahasiswa tahun pertama di tempat saya kuliah selama lebih kurang satu bulan. Dan saya dapati itu lumayan  menyenangkan. Dengan demikian saya ingin mengatakan bahwa salah satu cita-cita saya ke depan adalah jadi dosen. Saya merasa itu bidang saya dan dengan itu saya bisa mengembangkan potensi. Nah, apakah saya masih mau jadi PNS? 


Jadi Diri Sendiri

Baiklah, kali ini kita bicara tentang menjadi diri sendiri. Kenapa menjadi diri sendiri penting? Jawabannya karena tak ada orang lain yang bisa memainkan peran kita dengan lebih baik selain kita sendiri. Setiap orang  dikaruniai Tuhan kelebihan di bidang masing-masing. Tapi masih saja ada dorongan atau keinginan untuk menjadi orang lain. Rasanya kalau kita jadi orang lain hidup akan bahagia. Rasanya kalau jadi anak presiden kita akan selalu senang. Tapi yang jelas hidup akan lebih menderita kalau kita tak bisa menerima diri kita sendiri apa adanya. Menerima kekurangan diri juga kelebihan yang ada adalah kunci supaya kita bisa tersenyum. 

Tuhan sudah memberi kita akal untuk berpikir dan tenaga untuk bertindak. Di saat bersamaan, di dunia tempat kita tinggali ini ada berbagai macam hal termasuk di dalamnya godaan. Selalu ada godaan untuk melakukan hal-hal negatif. Dan kalau sudah melakukan hal positif, itu jarang bisa bertahan lama. Ya  karena itu, godaan. Tapi kalau yang negatif, jangankan tahan lama, hidup kita jadi berpola. Sebagai contoh, bangun pagi. Berdasarkan pengalaman saya, kalau kita atur waktu untuk bangun cepat, itu paling bertahan seminggu. Setelah itu kemungkinan untuk bangun terlambat jadi lebih besar. Tapi kalau soal bangun terlambat, katakanlah jam 10.00 pagi, itu akan ter-set dengan rapi. Setiap pagi jam 10.00 atau bahkan lewat sedikit. 

Begitulah hidup kalau tak terkontrol. Ia ibarat roda yang tak hanya membuat kita sekali di atas dan (berkali-kali) di bawah, tapi bisa bergelinding sendiri ke arah yang tak tentu. Ia berjalan sendiri tanpa tujuan sehingga ketika jenggot sudah memutih, mata berkunang-kunang, kita baru sadar bahwa kita belum sampai ke mana-mana. Kalau berbicara ini, saya teringat kata-kata instruktur saya waktu mengikuti sebuah pelatihan kemahasiswaan dulu. Pesannya, jadilah orang yang selalu berpacu dengan waktu. Setiap detik berusaha agar ketika melihat matahari kelak kita bisa tersenyum dan saat memandang ke belakang, tak ada air mata yang harus jatuh. Begitulah kata-katanya. Menggugah sekali bukan? 

Tapi itulah, di antara itu semua, penting sekali kita yakini bahwa Tuhan telah memberi kita harta karun yang letaknya dalam diri kita sendiri. Dengan menjadi orang lain, sama artinya kita mengubur anugerah. Terkadang saya berpikir masa depan itu ada dalam diri kita sendiri. Tapi kita menyibukkan diri, mengais dan menghiba pada yang jauh dan diluar kita. Kalau mengambil kutipan Iwan Fals, "sebab hidupnya dipacu nafsu". Kita mungkin serakah. Melihat orang lain dapat banyak, atau hebat di bidang tertentu, kita pun ikut-ikutan memilih jalan yang sama dengannya. Padahal belum tentu kita bisa bermain lebih baik dari orang tersebut. Meski ada kutipan, "aku bisa menahan apa pun kecuali godaan", tetaplah menjadil diri sendiri. . Tuhan telah menciptakan jalan untuk masing-masing kita. Ambil pahit, sesekali ambil manis, agar sampai di tujuan. Amiin.

Rabu, 05 September 2012

Secuil Hadiah dari Proses

Kata kawan saya, setia pada proses itu jauh lebih sulit dari pada setia pada pacar. Minggu lalu dan minggu sebelumnya dua cerita pendek saya dimuat berturut-turut di Harian Serambi Indonesia. Saya tidak bisa berbohong bahwa saya memang sangat senang. Ini karena kesetiaan saya proses yang ,alhamdulillah, sampai hari ini belum berakhir. Dulu setiap mengirim karya tak pernah dimuat. Tak jarang saya memaki dan mencaci media yang menolak karya saya itu. Karena menurut saya karya saya sudah bagus dan layak muat. Lagi pula, menulis itu tak gampang. Sulit sekali. Saya harus beberapa kali gagal sebelum sebuah tulisan selesai utuh. Kadangkala untuk sebuah cerpen saya harus bergadang sampai pagi. Tapi ketika mengirim, tak pernah pun baik karya atau keringat saya dihargai. Saya bahkan pernah berpikir bahwa media tidak akan pernah memuat karya Putra Hidayatullah kecuali saya ganti nama.


Tentang PNS

Bulan puasa kemarin saya bertemu dengan seorang lelaki. Dia bertugas sebagai PNS di sebuah instansi di Banda Aceh. Sambil basa-basi pembicaraan kami mengarah pada profesi yang sedang disandangnya. Darinya saya tahu bahwa ramai pegawai yang kekurangan tugas di kantor. Ini karena banyaknya jumlah mereka. Istilahnya overloaded lah. "Coba bayangkan, bagaimana mungkin untuk foto kopi  dipakai sepuluh orang" kata kawan saya itu. Akibat dari overloaded ini, banyak dari mereka yang tertarik melakukan pekerjaan lain seperti bergosip ria,  bermain facebook atau twitter dengan fasilitas wifi gratis (punya kantor). Kalau sudah bosan, mereka keluar dan duduk-duduk di warung kopi. Makanya tak jarang kita lihat ada orang berpakaian dinas nongkrong di warung kopi pada waktu jam kerja.

Senin, 03 September 2012

Mengasah Diri

Practice makes tired. Mungkin kedengarannya agak berbeda dari yang selama ini, practice makes perfect. Iya practice atau berlatih itu memang melelahkan terutama jika kita tidak menyukai apa yang sedang kita geluti. Misalnya berlatih bola. Bagi orang yang memang cinta sepak bola latihan itu justru sebuah kenikmatan yang tak tergantikan dengan hal lain. Tapi bagi orang yang tidak suka sepak bola? Yang terjadi justru sebaliknya. Tidak mengenakkan dan sangat melelahkan. Contoh lain lagi ada pada orang yang menulis.  Bagi orang yang hobinya menulis, berlatih jadi kebutuhan. Dia akan menikmati proses dengan tekun dan telaten . Walhasil dia bisa menjadi seorang penulis yang sukses jika ditambah dengan semangat totalitas. Tapi bagi orang yang tidak suka menulis, apa yang akan terjadi kira-kira? 

Ironi Status Facebook

Jejaring sosial yang mulai bermunculan ketika saya beranjak dewasa (mungkin "beranjak tua" lebih tepat) punya ironi tersendiri. Ada berbagai hal yang lumayan menggelitik. Sebenarnya sudah lama tapi saya baru sadar. Setiap kali log-in saya menelusuri  status-status facebook teman. Beberapa di antaranya adalah status bijak yang berisi  motivasi. Sementara jenis lain (yang 4L4Y tak masuk) berupa kata-kata relijius yang bisa membangkitkan spiritualitas. Luar biasa mencerahkan.

Sabtu, 01 September 2012

Malu Menulis

Kendala lain (selain tak punya ide dll) dalam menulis adalah malu. Saya sering merasa malu dengan tulisan saya sendiri apalagi tulisan model curhat seperti ini. Terus terang saya tidak nyaman membicarakan tentang diri saya sendiri meski bisa jadi pengalaman atau hal-hal lain tetang saya bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Meski demikian, sebagai seorang pembelajar, saya tetap harus menembus batas. Kata Nabi, musuhmu adalah dirimu sendiri. Ya, saya memang kerap menyerah pada kekuatan yang muncul dalam diri saya sendiri. Kekuatan itu seperti iblis membisiki saya untuk menyerah, tidak menulis, dan menyuruh untuk tidur atau memunculkan emosi-emosi negatif.