-------

Minggu, 16 September 2012

Orientasi

Tadi pagi saya ke pantai memenuhi undangan acara orientasi mahasiswa baru. Saat tiba ada beberapa dosen yang sedang berbicara di bawah pohon. Saya yang baru sampai dengan seorang teman langsung menyambangi dan berjabat tangan. Lalu duduk di terpal biru tepat di samping mereka. Sayangnya kami seperti lintah kena bakong. Dalam hati saya berharap setidaknya mereka mau bertanya kabar kami, apa pekerjaan kami setelah menjadi alumni atau apa rencana ke depan. Tapi tak ada yang melirik atau memberi sinyal bahwa mereka ingin berkomunikasi. 

Lalu kami berangkat melihat adik-adik leting baru yang sedang mengunjungi pos demi pos yang sudah dibentuk oleh panitia seperti  pos mental, pos kepemimpinan, pos kesenian, pos agama dan lain-lain. Mahasiswa baru dibagi menjadi beberapa kelompok kemudian setiap kelompok akan mengunjungi pos demi pos. Di masing-masing pos ada sekitar empat atau lima instruktur. Di antara semua, pos mental-lah yang paling banyak digemari oleh kakak dan abang-abang kelas. Di pos ini setiap mahasiswa baru itu diuji mentalnya. Dibentak, dihardik, dan sejenisnya sampai ada yang meneteskan air mata. 

Saya tidak tahu apakah memang begitu seharusnya pos mental. Saya lumayan canggung saat beberapa teman menyuruh anak baru menjumpai saya dan memancing saya untuk membentak.  Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Saya kerap membayangkan diri saya ada pada posisi mereka. Bagaimana jika saya yang berjalan di bawah terik, melawan kelelahan, kemudian ketika sampai di tempat (pos) bukan untuk istirahat tapi untuk menghadapi tekanan. Lucunya lagi ketika abang-abang dan kakak-kakak sudah lelah, mereka bisa mengambil bekal yang sengaja disuruh bawa jauh-jauh hari pada adik leting. Sekilas ini mirip kehidupan dengan kasta yang ekstrim. Anak baru bisa diibaratkan sebagai kaum proletar dan mahasiswa lama sebagai kaum aristokrat. Kalau dilihat dari jauh, ini mirip  miniatur sejarah perjalanan manusia. Yang kuat kerap mengatur (kalau tak ingin dikatakan menindas) yang lemah. 

Suara hati saya berkata begitu. Kalau saya mengikuti arus, saya merasa tidak nyaman tapi kalau tidak, saya akan dianggap beda atau aneh. Akhirnya saya juga ikut-ikutan. Tapi dengan standar bahwa anak-anak itu tidak marah pada saya. Kalau ditanya apakah orientasi seperti itu bagus atau tidak, saya belum bisa langsung jawab tidak. Akan ada alasan bahwa ospek itu bagian dari pendidikan. Mungkin permasalahannya bagaimana cara kita memaknai pendidikan. Sebagian menganggap begitulah turunan dari hakikat pendidikan. []


0 comments

Posting Komentar