Tadi pagi waktu ke kampus saya jumpa dosen academic writing saya dulu, Pak Jarjani Usman. Kalau sering baca koran Serambi Indonesia sudah pasti akrab dengan nama ini. Beliau penulis tetap kolom tafakur di SI. Saat ini Bapak itu sedang melanjutkan pendidikan S3 di Australia. Karena sedang penelitian beliau pulang ke Aceh. Kalau tidak salah saya katanya tiga bulan di sini setelah itu balik lagi ke Australia. Yang membuat saya terkejut adalah pertanyaannya saat saya berjabat tangan, "Betul kamu yang menulis di Serambi kemarin?" Mata saya langsung berbinar. Dengan sedikit tergeragap saya bilang iya. "Lagi belajar juga, Pak" saya tersenyum. "Bagus itu. Menulis itu perlu. Melatih berpikir dan menyampaikan gagasan. Kalau di luar negeri, menulis itu penting sekali. Saya dulu juga begitu. Tulis terus," katanya bersemangat. Saya hanya tersenyum sedikit malu-malu meski dalam hati senang betul.
Saya merasa semangat dalam diri Pak Jarjani keluar perlahan dari tubuhnya seperti asap hitam lalu perlahan masuk ke otak hingga ke kedalaman jiwa. Semangat menulis saya melambung seperti balon gas. Ingin rasanya menulis segala hal yang ada di dunia ini. Tapi masalahnya adalah writer's blog. Tak tahu apa yang hendak saya tulis. Saya menganggap ini kejahatan dan penjajahan yang dilakukan oleh pikiran saya terhadap diri saya sendiri. Oh Tuhan, sampai kapan derita ini akan berakhir? sudah lama sekali saya berusaha supaya pikiran ini bebas bertelur tanpa teror dan bisikan yang mengatakan begini, "jelek sekali ini, tulis lain saja" begitulah berulang-ulang. Untung di blog. Kalau di kertas, kamar saya bisa tenggelam dalam gumpalan-gumpalan kertas yang berbentuk bola itu.
Kalau ada yang bilang bahwa menulis itu gampang-gampang susah, itu penipuan. Kata gampang dipakai hanya untuk memotivasi saja. Kalau dibilang susah saja takut runtuh semangat orang yang hendak belajar menulis. Iya, faktanya memang demikian. Saya pernah bergadang dari pagi sampai malam (ah malas kuhapus, maksudnya dari malam sampai pagi) hanya untuk sebuah tulisan. Bayangkan berapa jam. Durasinya hampir sama seperti orang kerja bangunan. Bedanya kerja bangunan pakai otot, tapi nulis pakai laptop (ya iyalah) pakai otak maksudnya. Jangan anggap bekerja pakai otak tidak lelah. Malah lebih mengerikan lelah otak ketimbang lelah otot. Kalau lelah otot, kita masih bisa merebahkan badan hingga tertidur pulas. Tapi kalau lelah otak? memejamkan mata saja susah. Mungkin karena itulah mengapa dalam banyak hal, orang yang bekerja dengan otak lebih mulia ketimbang orang yang bekerja dengan otot.
Menulis memang susah. Gene Weingarten saja bilang begini, "mereka harus memahami bahwa menulis itu sulit. Jika tidak sulit, berarti mereka tidak melakukannya dengan benar." Karena menulis itu sulit, ada sedikit perubahan mindset pada diri saya selama ini. Saya mulai menghargai teks dan menghargai penulis teks tersebut karena proses kreatif itu tidak mudah. Tapi walau pun demikian, ada pepatah mengatakan bahwa pelaut ulung tidak dilahirkan oleh laut yang tenang. Karena itu, jika punya cita-cita menjadi penulis, harus siap melawan badai dan cobaan-cobaan yang kadang menyengsarakan.
Yang jelas, pertemuan saya dengan Pak JJ (Jarjani Usman) sedikit tidaknya telah membangkitkan semangat saya menulis meski kadang-kadang saya tidak tahu apa yang hendak saya tulis.
Salam!
2 comments
bg laraa.... namamu slalu mngikuti kursor ku ckckckck..anyway mantap se x :D
haha.... ah, kamu romantis sekali! :)
Posting Komentar