-------

Jumat, 28 Desember 2012

Karya Indah

Tak perlulah bersusah memikirkan sesuatu yang indah. Seringkali keindahan itu lahir dari spontanitas yang dituangkan dengan sebuah kejujuran. Tanpa membesar-membesarkan, tanpa mempersolek. Kadangkala melebih-lebihkan sesuatu itu justru memberi dampak yang tidak indah. Dengarlah bunyi-bunyi di sekitar, resapi perjalanan waktu dari detik ke detik. Berpikirlah di luar kotak. Di luar pikiran kebanyakan orang. Ada banyak partikel-partikel kehidupan yang harus kita tangkap, kita genggam dengan pikiran, lalu dengan jiwa seni, muntahkan ia hingga melahirkan sebuah karya. 

Melakukan sesuatu dengan mengabaikan kejujuran atau dengan niat untuk mendapat pujian dan dipandang hebat, justru awal dari keburukan. Banyak sekali orang-orang yang pada dasarnya memiliki bakat atau kemampuan justru dipandang rendah karena terlalu memfokuskan diri pada niat yang tidak benar. Keindahan sebuah karya sering tidak bisa diatur, ia datang dengan sendirinya dalam bentuk inspirasi. Tangkap dan olah. Begitu.

Rabu, 19 Desember 2012

Kusadari ketidakmampuanku dalam menulis dikarenakan ketidakberanian untuk keluar dari perangkap diri. Ketakutan-ketakutan mengurung diri kita dalam sebuah ruang pengap di satu sudut dalam diri. Sulit sekali untuk keluar dari penjara ini. Harus siap melakukan hal-hal remeh atau menerima cibiran-cibiran. Tidak mudah. Ah...

Beku

Seandai bisa, aku ingin mengoyakkan kepala dan hati ini. Untuk mengeluarkan mutiara-mutiara kecil yang terbenam dalam sampah yang kian menggumpal di sana. Setelah itu  meletakkannya di atas meja di sebuah taman. Lalu aku menghabiskan waktu melihat orang-orang terpesona memandang. Tapi pikiran ini terlalu keras seperti kerasnya tulang tengkorak. Aku harus mengambil pahat dan memahatnya pelan-pelan agar benda berharga itu bisa keluar. Dan itu tentu sakit sekali. Jika tak ingin sakit, jangan berharap bisa mengambil mutiara-mutiara itu. Pikiranku ini seperti lautan yang di dasarnya ada mutiara-mutiara. Semua pikiran manusia sehat kupikir sama. Kita harus menarik nafas dalam-dalam lalu memasang keberanian. Kemudian siap menyelam hingga kedalaman yang tak terhitung jaraknya.[]

Selasa, 11 Desember 2012

"Jabarkan kesedihan Anda dan hasrat dalam hidup Anda. Jabarkan pikiran yang melintas di kepala Anda dan apa-apa saja yang menurut Anda indah. Jabarkan semua itu dengan penuh kasih sayang, dengan kesungguhan, dengan ketulusan dan kerendahan hati—dan selalu gunakan hal-hal yang ada di sekeliling Anda untuk berekspresi dalam tulisan. Gunakan imaji-imaji dari mimpi Anda, serta obyek-obyek dari memori Anda."

Rainer Maria Rilke

Pengakuan


Saya harus telanjang
Menanggalkan baju kesombongan 
Melepas celana ketakutan  

Saya telah memakainya bertahun
Kini waktu mengingatkan 
Agar saya bisa bernyanyi bersama alam

Mendengar nyanyian burung
Membidik hikmah pada ranting jatuh 
Menemukan saripati hidup yang berserakan di tanah.

Saya harus menemukan bagian paling inti dari diri
Mendengar bisikan alam, khidmat
Saya merasa dengan cara itu saya bahagia.

Ikhlas

Hari ini melelahkan. Jarang sekali saya bangun pagi kemudian bekerja. Biasanya selalu ada waktu untuk bersantai atau bahkan kembali merebahkan badan di tempat tidur. Kadang di saat bersamaan saya menyadari bahwa kewajiban yang ada lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Itu kata yang saya dapat dari teman. Katanya itu kutipan dari Hasan Al-Banna. Yang jelas itu memang benar. 

Tadi pagi dingin sekali. Beda dari biasanya. Saya disuruh ibu mengantar sebuah dokumen ke Tiro. Kata-kata ibu adalah perintah buat saya. Kalau tidak, saya harus menyiapkan kapas dan menyumpal dalam telinga karena ibu saya akan merepet sejadi-jadinya. Dua hari ini saya memang sengaja pulang kampung untuk membantu ibu yang sendirian mengurus sawah. Jadi sepulang mengantar dokumen itu ke rumah teman ibu, saya harus pergi ke sawah. Waktu kami berangkat, belum ramai orang di sawah. Setelah memarkir sepeda motor di jalan, kami berjalan melewati pematang karena sawah kami terletak agak di tengah. Saya disuruh ibu meratakan tanah mumpung air masih banyak menggenang karena semalam hujan lebat. 

Saya mengambil perata tanah yang terbuat dari kayu mirip cangkul dan mulai meratakannya perlahan. Sementara ibu saya memakai cangkul. Untung hanya sepetak tanah. Jadi tidak sampai membuat saya menyerah. Walau pun begitu, lelahnya bukan main. Di awal-awal memang terasa enteng tapi lama kelamaan terasa pegal. Tapi saya mengatur attitude saya sebaik mungkin kali ini. Saya berniat membantu ibu. Saya tidak akan minta pulang atau berhenti sebelum disuruh. Sedikit demi sedikit saya mencoba memunculkan sikap ikhlas dalam hati. Hasilnya luar biasa, saya bisa menyelesaikan pekerjaan itu dengan sempurna. Tidak hanya itu, ada kepuasan yang muncul dari kedalaman jiwa saya. Pesan moralnya adalah, kita memproduksi energi positif ketika kita mencoba ikhlas. Semoga bisa selalu ikhlas dalam apa pun. Amiin.

Senin, 03 Desember 2012

Berpikir

Rene Descartes bilang, Cogito Ergo Sum artinya Aku berpikir maka aku ada. Selaku insan yang dikaruniai akal sepantasnyalah kita berpikir. Tentunya berpikir mengenai hal-hal yang bisa membawa hasil dan manfaat kepada diri sendiri dan orang lain. Misalnya berpikir tentang solusi dari suatu permasalahan, memikirkan ide untuk kemajuan, dan berpikir untuk membantu orang lain. 

Saya pernah membaca sebuah buku karangan Ismah Gusmian berjudul Surat Cinta Untuk Al-Ghazali. Disana dibilang bahwa setiap kita seharusnya tidak berpikir saja tapi juga berbuat. Aku berpikir, aku berbuat maka aku ada. Itu lebih komplit dan sempurna. Tapi kapankah terakhir kita mempraktikkan itu? Arus waktu selalu dipenuhi oleh hiburan-hiburan dan ajakan-ajakan yang membuat kita kehilangan prioritas. 

Beberapa waktu terakhir saya sudah menjadikan menulis sebagai prioritas. Saya berharap mampu membagikan sedikit kebaikan melalui tulisan-tulisan saya yang masih terlihat begitu miskin. Artinya, jam terbang saya masih terlalu rendah sehingga masih terasa kekakuan ketika membacanya. Saya telat sekali memulainya. Padahal sudah lama saya menyukai dunia ini. Permainan-permainan dan hiburan membuat saya lalai. 

Selama ini pun saya kerap dihantui stress saat memikirkan tema atau ide sebuah cerita. Stress itu bisa sedikit terobati ketika ada tulisan yang dimuat di koran. Kalau tidak salah saya ini dikarenakan hormon endorfin yang menimbulkan rasa puas dan senang pada seseorang setelah berhasil mengerjakan sesuatu. 

Karena saya ingin konsisten, dimuat sekali atau dua kali bukan berarti selesai dengan dunia kata ini. Ini ibarat menjadi tukang bangunan, setelah selesai satu rumah kita harus segera membangun rumah lain. Akibatnya rasa stress itu tidak akan pernah usai tapi bisa terobati selama sejenak. 

Kalau bicara tentang ide sebenarnya banyak. Saya sering mendapat ide dari krisis. Orang bijak berkata bahwa dibalik krisis mengandung peluang. Ada banyak krisis terjadi di sekitar misalnya krisis sosial seperti korupsi, kolusi, nepotisme, tawuran, dan tindakan amoral lainnya. Dari sini bisa muncul banyak cerita. Saya suka ide yang muncul dari krisis-krisis seperti ini tapi masalahnya adalah ketidakmampuan membungkusnya ke dalam sebuah karya sastra sehingga pesan tersampaikan dengan baik. 

Karena itu saya harus memikirkan caranya dan ini sangat melelahkan. Bagi saya menulis sebuah karya sastra semisal prosa ratusan kali lebih sulit dari pada menulis ilmiah semisal opini atau essay. Karena itu berpikir, berproses, dan berlatih menjadi keharusan. Saya harus mempertinggi jam terbang dan semoga bisa konsisten. Amiin.[]

Sabtu, 01 Desember 2012

Buku Hadis Maja

Setelah sekian lama tak beli buku, akhirnya tadi berhasil juga merogoh saku untuk sebuah buku yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Kebetulan hari ini tanggal muda, jadi saya ikhlas membeli sebuah buku Hadis Maja berisi filosofi hidup orang Aceh yang ditulis dalam bentuk pantun dan bersajak. Menurut saya buku ini penting untuk dibaca atau dijadikan warisan untuk anak cucu mengingat nilai-nilai kebijaksanaan berupa petuah orang-orang terdahulu semakin langka kita dengar. Padahal dibalik nasihat-nasihat itu tersimpan kebenaran yang seharusnya kita patuhi agar dapat menjalani hidup dengan bijak. 

Buku itu ditulis oleh seorang wartawan yang bisa dikatakan senior yaitu Iskandar Norman. Saya beli dengan harga 35 ribu di Taman sari pada acara Piasan Seni. Tujuan lain saya membeli buku ini adalah sebagai bahan atau ramuan yang bisa saya bubuhi dalam tulisan saya ke media-media lokal di Aceh. Saya berharap dari buku setebal lebih kurang 1,5 Cm ini saya bisa menelurkan minimal sebuah tulisan. Semoga ini menjadi langkah lain saya untuk terus melahirkan tulisan. Akhirnya, selamat untuk diri saya sendiri telah mampu membeli buku baru yang juga isinya langka. Jika saya mampu menulis sebuah karya setelah membaca buku ini, saya berjanji akan mentraktir diri saya sepuas mungkin. Wassalam. 

Jumat, 30 November 2012

Membaca

Untuk pintar dan sukses kau perlu membaca buku-buku yang tidak disediakan di sekolah. Kau tahu, membaca buku-buku yang ada di sekolah itu tidak cukup. Beberapa di antaranya justru membuatmu bingung dan bisa saja tidak menjadikanmu peka terhadap ada yang terjadi di sekitar. Pendidikan di sekolah itu punya tujuan lain. Tidak hanya bicara tentang menjadikanmu lebih baik atau lebih pandai, tapi kadang-kadang berusaha membuatmu jadi robot atau mesin pengolah soal tanpa mengerti dari mana soal itu, untuk apa dan apa gunanya dalam kehidupan yang penuh carut-marut ini. Setidaknya itu yang saya rasakan. Karena itu bacalah buku-buku yang bisa membuatmu menemukan sari-sari kehidupan. Seperti kisah hidup orang lain atau buku-buku sastra yang berkualitas. 


Ada sebuah kutipan menarik dari seseorang yang dijuluki Bapak Ilmu Ekonomi, Adam Smith. Dalam sebuah buku berjudul The Wealth of Nations dia menulis,"Kalau saja pengajar itu orang yang waras, tentu dia akan jengkel saat ia tahu bahwa, saat ia mengajar mahasiswa, dirinya ternyata membicarakan atau membaca hal-hal yang tidak berguna, atau hal-hal yang sedikit lebih baik ketimbang omong kosong. Tentu dia juga akan jengkel saat tahu bahwa sebagian besar mahasiswanya meninggalkan kuliahnya; atau mungkin menghadiri kuliahnya tetapi menunjukan tanda-tanda jelas bahwa mereka mengabaikan, mengejek, dan menghina. Disiplin akademi dan universitas pada umumnya disusun bukan untuk kebaikan mahasiswa, tetapi demi kepentingan, atau lebih tepatnya demi kenyamanan para profesor."

Saya pikir hal sama juga terjadi di sekolah, tempat kita menyandarkan masa depan dan cita-cita. Ada juga kutipan lain dari seorang sastrawan Indonesia yang sempat menjadi nominator penerima hadiah nobel di bidang sastra, Pramoedya Ananta Toer. Kata-katanya begini, "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hewan yang pandai."

Bukan saatnya lagi meremehkan orang yang suka membaca dengan ungkapan-ungkapan, "Sok pintar, sok intelektual, sok rajin" atau lebih sadis lagi, yang ini pernah saya dengar sendiri, "membaca novel? heh... macam banci saja". Bangsa kita tertinggal dan terus berada dalam krisis bukan semata karena kesalahan pemerintah tapi juga karena kita malas membaca. Membaca hampir sama derajatnya dengan aib. Kalau kita membaca koran di warung itu dianggap biasa, tapi membaca buku? Bahkan di kampus pun begitu. Aneh bukan? Itulah kita. 

Membaca adalah jendela dunia, buku adalah gudang ilmu, Aceh Membaca Aceh Berjaya semua itu hanya ada di slogan-slogan atau spanduk sebagai penghias atau supaya tampak seolah kita  bangsa yang beradab dan kaya dengan ilmu pengatahuan. Padahal kita beramai-ramai mengubur ilmu di perpustakaan. Ironis! []

Kamis, 29 November 2012

Lupa

Lupa memang hal lumrah yang sering kita alami. Hari ini lupa yang begitu mengerikan bagi saya. Saya tidak ingat kalau hari ini jum'at. Dalam pikiran saya hari ini rabu. Akibatnya saya tidak pergi mengajar hingga staf pengajaran menelpon. Entah mengapa tiba-tiba saya menjawab saya sedang kurang sehat. Memang beberapa hari ini saya sedang sedikit down. Rasanya ingin istirahat saja sambil menonton TV dan tidak melakukan kegiatan apa pun. 

Senin, 26 November 2012

Memperkarakan Seni

Seni itu indah dan kita menyukai yang indah-indah. Karena itu patutlah kita berterimakasih pada seniman yang melahirkan karya-karya yang bisa menghibur ummat manusia. Bukankah hidup ini tragis seandainya puisi yang tercipta cuma itu-itu saja atau pun lagu yang diputar tidak pernah berubah. Atau lukisan yang digambar melulu gunung dengan sedikit sawah, ada matahari kemudian beberapa ekor burung. Tentu saja kita akan merasa bosan. 

Sadar atau tidak kita butuh kepada seniman. Mungkin hampir bisa disamakan dengan kebutuhan kita pada petani hingga nasi atau makanan pokok lainnya bisa mendarat mulus di  meja makan rumah kita. Sementara dengan seni, setiap hari hidup kita diwarnai dengan keindahan sebuah karya seni. Misalnya lagu yang beberapa di antaranya bisa menjadi penyemangat hingga membuat kita bergairah dalam beraktifitas. 

Dalam keintiman kita pada sebuah karya seni, kita ikut belajar melalui alam bawah sadar dan proses itu ikut mempengaruhi cara kita berpikir dan memandang realitas. Lirik dan lagu-lagu yang didengar berulang-ulang bisa memberi sugesti kepada pada seseorang. Kehadiran The Beatles kali pernah dicap para orang-tua sebagai penganut aliran setan karena secara tiba-tiba anak remaja mereka berubah menjadi kesurupan mengekor penampilan empat pemuda Liverpol itu. Suicide Solution lagu Ozzy Osburne, mampu membuat seorang remaja nekat bunuh diri. Atau tembang Silver-Chair yang konon mampu membutakan hati seorang pemuda, sehingga nekat membunuh orang tua dan saudaranya dengan sadis. (http://ravindata.multiply.com/journal/item/8)
.



Mindfacturing


Selama beberapa tahun terakhir ada sedikit distorsi dari lirik-liri lagu. Bisa dikatakan lirik-lirik lagu yang bermunculan hari ini seperti miskin tema. Lirik-lirik cenderung mengarah kepada cinta bahkan sampai mendekati kecabulan. Seperti contoh ada beberapa lagu seperti Ku Hamil Duluan yang dinyanyikan dengan irama yang begitu hidup seolah si penyanyi bangga dengan keadaan Hamil Duluan. 






Pengobatan, hukum, 
bisnis, teknik. 
Itu semua adalah pekerjaan yang mulia 
dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. 
Tetapi puisi, 
kecantikan, asmara, cinta, b
erguna bagi 
kita untuk tetap hidup. (Dead Poet Society)







Ide

Kalau tak punya ide, tetaplah menulis. Berhadapan dengan teks terkadang memang sulit dan membosankan. Putu Wijaya mengibaratkannya seperti menggorok leher. Saat menulis ini saya sedang merasakan itu. Keinginan menulis yang membara dihadang oleh ketiadaan ide yang sungguh sangar. Terlalu sering saya menyerah dengan berhenti melanjutkan kalimat-kalimat selanjutnya dari sebuah tulisan. Dan itu tidak memberi untung.



Sabtu, 24 November 2012

Coret

Wajah lelaki itu kusut. Ia melirik jam tangan. Sudah pukul 11 pagi. Di luar terdengar anak-anak berteriak-teriak.  Anak laki-laki bermain bola voli di lapangan semen di tengah halaman sekolah. Sebagian lain tampak mengerumuni kantin. Di luar dekat kantor guru, beberapa anak perempuan berdiri menghisap es krim. Baju seragam guru berwarna cokelat yang dipakai mulai  basah di bagian ketiak. Sesuatu berdering di saku celananya. 

"Pak, maaf menganggu. Bapak lagi dimana?

Ia menutup kembali handphone lipat itu tanpa membalas. Mengajar di sekolah dan menjadi dosen di universitas membuat pikirannya bercabang. "Biarlah dia menunggu. Waktu aku mahasiswa dulu, aku juga menunggu" ia membatin. 

Jumat, 23 November 2012

Filem The Flowers of War

Beberapa waktu lalu, atas rekomendasi seseorang, saya menonton sebuah film berjudul The Flower of War. Filem tersebut disutradarai oleh Yi Mou Zhang menceritakan tentang pengorbanan dibalik penyerangan Cina oleh tentara Jepang.

Cina mengalami kekalahan hingga Jepang berhasil menduduki kota Nanking. Saat itu sebagian warga sipil yang selamat berlomba-lomba mencari aman. Ada yang langsung keluar dari Nanking ada pula yang pergi ke tempat lain yang dianggap lebih aman. Lalu ada sekelompok pelacur yang juga ikut mencari pelindung. Tempat tujuan mereka adalah sebuah gereja yang dikelola oleh seorang misionaris barat. Menurut mereka, orang Jepang tidak akan menganggu orang barat. 


Rabu, 21 November 2012

Memaknai Sastra

Malam ini seorang teman mengirim link wawancara Fathimah Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR) dengan Linda Christanty, salah seorang sastrawati Indonesia yang sudah dua kali meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA). Dari jawaban-jawaban Linda pada wawancara tersebut, khusus yang berkait dengan sastra, saya belajar sesuatu.


At All Cost

At all cost adalah ungkapan inggris yang bermakna memperjuangkan sesuatu hingga darah penghabisan. Menemukan istilah ini membuat saya teringat ibu saya di kampung. Ibunda saya berjuang at all cost untuk anak-anaknya. Sampai hari ini pun beliau masih begitu. Saya teringat ketika adik saya yang paling kecil bersekolah jauh di kota. Setelah bangun pagi, ibunda saya membereskan urusan dapur lalu melawan dingin pagi mengantar adik saya ke sekolah. Setelah itu pulang  dan berangkat mengajar di daerah pedalaman dengan murid-murid yang bebalnya luar biasa. Sepulang dari sana Ibunda saya pergi ke sawah. 


Selasa, 06 November 2012

Cerita Sabtu Pagi

Pada sabtu pagi yang cerah (kedengarannya seperti kalimat anak SD), saya tak ada agenda kecuali mengajar selama satu jam pada sorenya. Setelah bangun tidur saya duduk-duduk di beranda. Rumah saya  terletak di Jeulingke tepatnya pada perbatasan antara Lingke dengan Tibang, Banda Aceh. Lorong menuju rumah saya itu adalah jalan aspal yang buntu. Kata ibu saya yang kini menetap di kampung, dulu jalan itu tembus hingga ke jalan utama. Tapi setelah tsunami seseorang membeli lahan dan pemilik lahan tersebut turut menjual jalan. Akibatnya jalan itu sekarang buntu karena dipagar oleh pemilik tanah. Di sekeliling rumah saya tumbuh banyak sekali bak ngom yang membentuk seperti hutan kecil. di bawahnya ada genangan air. Kalau melihat sekilas, seolah tak ada sesiapa tinggal di ujung sana. Tapi ternyata ada. Ada sebuah rumah shelter kayu yang saya tempati berdua dengan adik saya. "Ini seperti rumah teroris" celutuk seorang teman saat pertama menyambang.


Selasa, 16 Oktober 2012

Pemerataan Ekonomi

Alhamdulillah hari ini mendapat sedikit pencerahan setelah  membaca opini Syahrol Kirom, master filsafat Universitas Gajah Mada di Media Indonesia (16/10/12). Syahrol mengurai masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ini jelas terlihat pada ketidakmerataan kesejahteraan dalam bidang ekonomi. Kalau kita pergi ke pasar kita bisa dengan mudah melihat ketidakmerataan ini. Pemasukan seorang nenek-nenek yang berjualan di atas tikar lapak pinggir jalan tentu jauh berbeda dengan pemilik toko. Kalau di kota besar bahkan ada mall. Tentunya penghasilan pengusaha mall jauh lebih banyak dibanding orang yang berjualan di gerobak dorong. Padahal produk yang dijual rasanya tidak jauh berbeda. 

Sabtu, 06 Oktober 2012

Di Gerbong

Di gerbong kita menghisap sepi
Bersandar pada kereta api tua yang mulai berkarat
Sembari menatap kematian bergentayangan di atap kota

Masih ingatkah kau?
Di rel besi itu dulu kita bermain
Berkelakar melepaskan layang-layang jumawa

Kita lupa saat usia dibunuh waktu
Berhelai-helai tawa luruh ke tanah
Seperti koran bekas dilumat genang air

Sudah sampai di mana kereta ini?
Di gerbong tua kini hening
Terbayang suara mayat hidup berkelakar dengan musim

Ada bulir bening di pucuk bulu mata kita
Jatuh berirama dengan harmoni luka
Di sini, di gerbong tua yang hampa.

Untuk Segelas Kopi



Duduk sejenak nikmati hari
Pada kursi kayu ditemani kopi
Sembari mengeringi keringat

Aih, tak perlu buru-buru
Biar derita gagah berdiri
Biar luka mengharu biru

Tapi mimpi tetap membara
Doa-doa harus mekar
Sebab turbin hidup terus berputar

Jumat, 05 Oktober 2012

Dari Hal Kecil

Sesekali menanyakan pada diri sendiri untuk apa sebenarnya hidup perlu. Apakah untuk mencari reputasi, prestise, atau pujian semata. 

Setelah duduk-duduk dengan dua teman yang sudah dua tahun tak jumpa, saya mendapat sesuatu.

Jumat, 28 September 2012

Bara


Di pinggir hutan
Suara jangkrik bersahutan
Gemericik air mengalir lirih
Bebatuan membelah arus
Ikan-ikan bercengkrama di bawah terang bulan
Cahayanya menyepuh permukaan sungai
Lalu pantulkan wajah kita.
Terbentuk dua raut merona
Dalam hatiku
Dalam hatimu
Cinta kita membara


Rawa Sakti 29 September 2012

Jumat, 21 September 2012

Pengaruh Khutbah

Jadi, tadi saya pergi salat jum'at. Saya senang karena sudah beberapa kali mendengar kuliah dari sang khatib. Bisa dikatakan beliau dikaruniai bakat retorika yang menakjubkan.

Senin, 17 September 2012

Dek Natasha


Merah sirup cap patong warna bibirmu. Tipis seperti seulas jeruk. Rautmu merona menjalar menghangatkan dada. Ah... Aku jadi salah tingkah.

Dek Natasha, aku ingin ke pantai. Maukah kau menemani? Kita biarkan butiran pasir merekat di kaki kita manja. Kita tatap kurungkom-kurungkom berlarian lincah mencari lobang masing-masing. Aih, betapa pemalunya mereka. 

Lalu tanganmu yang lembut bagai kapas itu, aku menggenggamnya erat. Kau menatap wajahku lamat. Senyummu merekah membentuk lesung pipit mungil dengan pipimu sedikit memerah. 

Tak sadar kita lewati waktu. Dan matahari pun padam. Perlahan kita berenang dalam cangkir surgawi. Kita mencium bau masa depan. Kita dengar suara anak-anak kita tertawa cekikikan. Aih... indahnya. 

Fajar menjelang. Gemuruh ombak buat kita terjaga. Tampak perahu nelayan mulai beranjak pulang. Kecil, membesar dan semakin dekat. Seperti bara asmara di hati kita. Hening. Lalu kau mendekatkan bibirmu ke telingaku dan berbisik, 

            "Terimakasih, Cinta" 


(Lututku bergetar. Tolong, aku speechless!)

Minggu, 16 September 2012

U Beu Beukah

Tamat kuliah saya senang. Saya bisa lebih fokus pada kerja. Suatu ketika (sebelum tamat) saya pernah duduk dengan ibu dan mengatakan bahwa saya sudah dapat kerja. "Apa kerjamu?" dengan santai saya menjawab, "menulis" Ibu saya tersenyum. Saya tahu apa maksud senyum itu. Memang pekerjaan menulis tampak tak begitu menjanjikan. Apalagi jarang sekali ada orang di sekeliling saya yang sukses karena menulis.

Saya pernah beberapa kali menjadi penerjemah untuk pendatang asing dari Amerika dan Australia. Setiap menjadi interpreter saya selalu berusaha membuka corong diskusi. Saya ingin tahu apa rahasia orang-orang Eropa, Amerika dan yang serumpun dengannya hingga bisa menjadi manusia unggul di segala bidang baik di sepak bola, film, sastra, musik, sains, dan teknologi. Dari beberapa diskusi dan hal-hal tersirat yang saya dapat dari mereka, intinya adalah fokus dan kerja keras. Mereka bekerja  berdasarkan passion alias apa yang mereka sukai dan nikmati. Jika mereka memiliki ketertarikan dalam dunia tulis menulis, maka mereka akan bekerja keras untuk itu. "If you want it why don't you work hard to achieve?" (Jika kamu ingin itu, mengapa kamu tidak bekerja keras untuk itu?)

Mereka begitu menjunjung tinggi semangat totalitas. Saya menemukan ramai orang di sekeliling tidak begitu. Kebanyakan menginginkan sesuatu tapi tidak dengan kerja keras. Contoh kecil ada di universitas. Saat kuliah saya sering menjumpai teman-teman mengeluh karena dosen-dosen tertentu memberinya nilai sedikit. Mereka kadang berbuih-buih membicarakan si dosen yang seolah tak pantas memberi nilai se-sedikit itu untuknya. Padahal kalau dilihat dari kinerja dia selama satu semester, dia lebih layak mendapat nilai lebih rendah dari yang dosen telah berikan. Pada titik ini secara tidak sadar kita telah menjadi pribadi-pribadi instan. Untuk menjadi seorang pegawai tak perlu belajar, cukup mencari segepok uang lalu menyogok. Untuk menjadi seorang guru cukup dengan membangun relasi (kalau tak ingin disebut menjilat) dengan orang-orang tertentu. 

Dalam bahasa Aceh ada adagium "u bek beukah, kuah beuleumak" yang maksudnya mencapai sesuatu dengan tidak mengorbankan apa pun. Inilah yang sedang gencar-gencarnya dipraktikkan oleh orang-orang. Bukan tidak bisa mendapatkan sesuatu dengan tanpa mengeluarkan keringat. Bisa.  Tapi cara-cara yang cenderung politis itu bisa menzalimi orang lain yang lebih pantas dan memiliki kapasitas. Dan tidak hanya itu, dampaknya bisa meluas. Misalnya seorang guru yang lulus karena "main belakang" bisa dibayangkan bagaimana dengan kapasitas minim ia akan "menipu" murid-murid. 

Perilaku gandrung instan ini sifatnya menyebar. Dari beberapa orang yang saya temui, ada yang  sudah menganggap itu lumrah. Untuk menjadi pegawai di sebuah instansi tinggal mencari orang dalam. Istilahnya kita lebih mengandalkan koneksi ketimbang kompetensi. Bukan tidak mungkin orang-orang yang sebenarnya memiliki potensi tetap memilih cara instan ini. Ambil saja murid dalam sebuah kelas sebagai contoh. Saat murid-murid yang malas bisa dengan cara-cara ilegal mendapat nilai yang bagus, murid-murid yang pandai dan rajin bisa jadi tak tinggal diam. Untuk apa belajar rajin-rajin hasil sama saja dengan mereka yang malas. Ujung-ujungnya semua membudayakan budaya malas. Malas belajar, malas membaca, malas mencari dan lainnya.

Kembali pada saya. Saya sementara ini masih bersikukuh pada pendirian ini. Sampai hari ini (tak tahu besok) saya tak ingin mengambil cara-cara instan itu. Walau pun saya punya koneksi yang bisa menghubungkan saya ke sana. Saya kasihan saja pada diri sendiri. Entah mengapa saya jadi berpikir bahwa orang-orang yang pakai jalur belakang itu adalah orang yang tidak jantan. Tidak mandiri. Hampir bisa disamakan dengan seorang pemuda yang sudah berkumis tapi masih perlu ditemani ibu untuk membeli baju lebaran. Saya ingin bereksperimen dengan diri saya sendiri. Dan saya akan mencoba bekerja keras untuk itu. Saya percaya bahwa Tuhan telah menitipkan harta karun dalam diri saya. Saya harus menggalinya sendiri. Dengan keringat sendiri. []


Orientasi

Tadi pagi saya ke pantai memenuhi undangan acara orientasi mahasiswa baru. Saat tiba ada beberapa dosen yang sedang berbicara di bawah pohon. Saya yang baru sampai dengan seorang teman langsung menyambangi dan berjabat tangan. Lalu duduk di terpal biru tepat di samping mereka. Sayangnya kami seperti lintah kena bakong. Dalam hati saya berharap setidaknya mereka mau bertanya kabar kami, apa pekerjaan kami setelah menjadi alumni atau apa rencana ke depan. Tapi tak ada yang melirik atau memberi sinyal bahwa mereka ingin berkomunikasi. 

Lalu kami berangkat melihat adik-adik leting baru yang sedang mengunjungi pos demi pos yang sudah dibentuk oleh panitia seperti  pos mental, pos kepemimpinan, pos kesenian, pos agama dan lain-lain. Mahasiswa baru dibagi menjadi beberapa kelompok kemudian setiap kelompok akan mengunjungi pos demi pos. Di masing-masing pos ada sekitar empat atau lima instruktur. Di antara semua, pos mental-lah yang paling banyak digemari oleh kakak dan abang-abang kelas. Di pos ini setiap mahasiswa baru itu diuji mentalnya. Dibentak, dihardik, dan sejenisnya sampai ada yang meneteskan air mata. 

Saya tidak tahu apakah memang begitu seharusnya pos mental. Saya lumayan canggung saat beberapa teman menyuruh anak baru menjumpai saya dan memancing saya untuk membentak.  Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Saya kerap membayangkan diri saya ada pada posisi mereka. Bagaimana jika saya yang berjalan di bawah terik, melawan kelelahan, kemudian ketika sampai di tempat (pos) bukan untuk istirahat tapi untuk menghadapi tekanan. Lucunya lagi ketika abang-abang dan kakak-kakak sudah lelah, mereka bisa mengambil bekal yang sengaja disuruh bawa jauh-jauh hari pada adik leting. Sekilas ini mirip kehidupan dengan kasta yang ekstrim. Anak baru bisa diibaratkan sebagai kaum proletar dan mahasiswa lama sebagai kaum aristokrat. Kalau dilihat dari jauh, ini mirip  miniatur sejarah perjalanan manusia. Yang kuat kerap mengatur (kalau tak ingin dikatakan menindas) yang lemah. 

Suara hati saya berkata begitu. Kalau saya mengikuti arus, saya merasa tidak nyaman tapi kalau tidak, saya akan dianggap beda atau aneh. Akhirnya saya juga ikut-ikutan. Tapi dengan standar bahwa anak-anak itu tidak marah pada saya. Kalau ditanya apakah orientasi seperti itu bagus atau tidak, saya belum bisa langsung jawab tidak. Akan ada alasan bahwa ospek itu bagian dari pendidikan. Mungkin permasalahannya bagaimana cara kita memaknai pendidikan. Sebagian menganggap begitulah turunan dari hakikat pendidikan. []


Akal Sehat

Membangun akal sehat itu sulit sekali. Sama seperti merawat seorang bayi. Membangun akal sehat itu penuh dengan gangguan dan godaan bahkan ancaman. Akal sehat tak lahir dari fanatisme. Kadang-kadang akal sehat dan fanatisme saling bermusuhan. Pertanyaannya mana lebih penting antara akal sehat dengan fanatisme? Akal sehatlah yang bisa menjawabnya dengan sehat. Kesemrawutan yang terjadi di sekeliling kita bisa dikatakan hampir sepenuhnya berasal dari akal yang tidak sehat.

Rabu, 12 September 2012

Jumpa Pak JJ

Tadi pagi waktu ke kampus saya jumpa dosen academic writing saya dulu, Pak Jarjani Usman. Kalau sering baca koran Serambi Indonesia sudah pasti akrab dengan nama ini. Beliau  penulis tetap kolom tafakur di SI. Saat ini Bapak itu sedang melanjutkan pendidikan S3 di Australia. Karena sedang penelitian beliau pulang ke Aceh. Kalau tidak salah saya katanya tiga bulan di sini setelah itu balik lagi ke Australia. Yang membuat saya terkejut adalah pertanyaannya saat saya berjabat tangan, "Betul kamu yang menulis di Serambi kemarin?" Mata saya langsung berbinar. Dengan sedikit tergeragap saya bilang iya. "Lagi belajar juga, Pak" saya tersenyum. "Bagus itu. Menulis itu perlu. Melatih berpikir dan menyampaikan gagasan. Kalau di luar negeri, menulis itu penting sekali. Saya dulu juga begitu. Tulis terus," katanya bersemangat. Saya hanya tersenyum sedikit malu-malu meski dalam hati senang betul. 

Saya merasa semangat dalam diri Pak Jarjani keluar perlahan dari tubuhnya seperti asap hitam lalu perlahan masuk ke otak hingga ke kedalaman jiwa. Semangat menulis saya melambung seperti balon gas. Ingin rasanya menulis segala hal yang ada di dunia ini. Tapi masalahnya adalah writer's blog. Tak tahu apa yang hendak saya tulis. Saya menganggap ini kejahatan dan penjajahan yang dilakukan oleh pikiran saya terhadap diri saya sendiri. Oh Tuhan, sampai kapan derita ini akan berakhir? sudah lama sekali saya berusaha supaya pikiran ini bebas bertelur tanpa teror dan bisikan yang mengatakan begini, "jelek sekali ini, tulis lain saja" begitulah berulang-ulang. Untung di blog. Kalau di kertas, kamar saya bisa tenggelam dalam gumpalan-gumpalan kertas yang berbentuk bola itu. 

Kalau ada yang bilang bahwa menulis itu gampang-gampang susah, itu penipuan. Kata gampang dipakai hanya untuk memotivasi saja. Kalau dibilang susah saja takut runtuh semangat orang yang hendak belajar menulis. Iya, faktanya memang demikian. Saya pernah bergadang dari pagi sampai malam (ah malas kuhapus, maksudnya dari malam sampai pagi) hanya untuk sebuah tulisan. Bayangkan berapa jam. Durasinya hampir sama seperti orang kerja bangunan. Bedanya kerja bangunan pakai otot, tapi nulis pakai laptop (ya iyalah) pakai otak maksudnya. Jangan anggap bekerja pakai otak tidak lelah. Malah lebih mengerikan lelah otak ketimbang lelah otot. Kalau lelah otot, kita masih bisa merebahkan badan hingga tertidur pulas. Tapi kalau lelah otak? memejamkan mata saja susah. Mungkin karena itulah mengapa dalam banyak hal, orang yang bekerja dengan otak lebih mulia ketimbang orang yang bekerja dengan otot. 

Menulis memang susah. Gene Weingarten saja bilang begini, "mereka harus memahami bahwa menulis itu sulit. Jika tidak sulit, berarti mereka tidak melakukannya dengan benar." Karena menulis itu sulit, ada sedikit perubahan mindset pada diri saya selama ini. Saya mulai menghargai teks dan menghargai penulis teks tersebut karena proses kreatif itu tidak mudah. Tapi walau pun demikian, ada pepatah mengatakan bahwa pelaut ulung tidak dilahirkan oleh laut yang tenang. Karena itu, jika punya cita-cita menjadi penulis, harus siap melawan badai dan cobaan-cobaan yang kadang menyengsarakan. 

Yang jelas, pertemuan saya dengan Pak JJ (Jarjani Usman) sedikit tidaknya telah membangkitkan semangat saya menulis meski kadang-kadang saya tidak tahu apa yang hendak saya tulis. 


Salam!

Puisi Cinta (?)

Cinta adalah ingus kering yang lama bertengger pada bulu hidung yang rimbun. Godaan untuk menggerakkan kelingking sama nikmatnya ketika mencongkel. Tapi begitu eksplorasi selesai, kita berpaling dan baru kembali bergairah ketika ingus lain hadir.

Cinta adalah taik lembu yang jatuh ditengah aspal. Awalnya tampak segar dan meyakinkan.  Namun lama-kelamaan memudar, kering hingga jadi debu dan beterbangan. Ketika masa itu tiba, hujan tak punya makna. Cinta adalah taik lembu. Keduanya jatuh bukan semata karena gravitasi.

Cinta adalah panci peyot. Dan akan selamanya peyot kalau kau lupa mengetoknya dengan palu pernikahan.

Jumat, 07 September 2012

Jadi PNS?

Setelah membaca tulisan saya tentang PNS, seorang teman bertanya, apakah saya masih mau jadi PNS . Saya memang pernah dengar dari beberapa orang bahwa ada hal-hal 'lain' yang terjadi ketika kita sudah jadi PNS. Suatu ketika seorang kenalan saya menulis tulisan yang bagus di facebook. Beberapa orang  memberi komentar pada tulisannya itu. Di antara semua, komentar yang paling menarik  adalah, "kamu punya potensi. Jangan jadi PNS ya!"  Membaca komentar itu saya terkejut dan berpikir bahwa yang masuk PNS itu adalah orang-orang yang tidak  punya potensi atau bisa jadi penulis komen tersebut   menemukan beberapa temannya yang pada dasarnya memiliki potensi tapi ketika jadi PNS mereka jadi tak berkembang.  

Yang pasti untuk tahu persis maksud si kawan, kita mungkin harus jadi PNS terlebih dahulu. Tapi kembali pertanyaan, apakah saya masih mau menjadi PNS? Begini, saya punya ketertarikan khusus pada dunia pendidikan atau dunia akademis. Dan ketertarikan ini datang begitu saja. Kadang-kadang ketika duduk sendiri saya membayangkan sedang mengajar dalam kelas dan mahasiswa mendengar saya dengan khidmat. Ketika pulang ke rumah saya bergelut dengan buku-buku kesukaan saya (saya suka buku) dan saya mempunyai waktu khusus untuk menulis. Itulah gambaran yang ada dalam pikiran saya sementara ini mengenai  masa depan. Tentunya jika Allah masih memberi kesempatan dan umur yang berkah. Dosen sekaligus teman dekat saya pernah memberitahu bahwa mengajar itu pekerjaan yang mulia. Bisa jadi amal dunia akhirat kalau kita menggelutinya dengan tulus.

Di lain waktu, kawan lain juga bilang saya cocok jadi praktisi pendidikan semisal guru atau dosen. Dan menariknya, itu adalah salah satu goal saya ke depan. Saya sedikit merasa bahwa legenda pribadi saya ada di sana (selain menulis). Sedikit perbedaannya adalah, saya tak suka jadi guru. Saya punya passion untuk jadi dosen. Kenapa demikian? apa karena gajinya lebih banyak? Bisa jadi. Tapi yang lebih mendasar adalah terkait dengan pengembangan diri. Saya punya pengalaman mengajar di SMA alias jadi guru selama beberapa bulan. Kebetulan saya berkuliah di jurusan bahasa inggris. Jadi, ketika saya berbicara dengan siswa, mereka tidak mengerti. Mereka bilang bahwa bahasa inggris saya terlalu cepat (padahal menurut saya biasa-biasa saja) dan kosa kata yang saya pakai terlalu tinggi. Maka saya beradaptasi dengan mereka. Berbicara lebih pelan (kata per kata) dan menggunakan kosa kata umum (bahkan paling umum semisal I go to school everyday) Saya berpikir jika selama bertahun-tahun saya jadi guru di SMA, alih-alih berkembang malah besar kemungkinan kemampuan (bahasa) saya menurun. 

Selain itu pula, menurut saya mengajar di universitas itu lebih bergengsi dan cakupannya lebih luas. Sesuai dengan asal katanya, "universe" yang berarti alam semesta. Sehingga dari kata inilah kemudian lahir kutipan menarik "University student must know something about everything and know everything about something" Universal. Alasan lain adalah mengajar orang dewasa lebih mudah ketimbang anak-anak. Saya juga pernah mengajar mahasiswa tahun pertama di tempat saya kuliah selama lebih kurang satu bulan. Dan saya dapati itu lumayan  menyenangkan. Dengan demikian saya ingin mengatakan bahwa salah satu cita-cita saya ke depan adalah jadi dosen. Saya merasa itu bidang saya dan dengan itu saya bisa mengembangkan potensi. Nah, apakah saya masih mau jadi PNS? 


Jadi Diri Sendiri

Baiklah, kali ini kita bicara tentang menjadi diri sendiri. Kenapa menjadi diri sendiri penting? Jawabannya karena tak ada orang lain yang bisa memainkan peran kita dengan lebih baik selain kita sendiri. Setiap orang  dikaruniai Tuhan kelebihan di bidang masing-masing. Tapi masih saja ada dorongan atau keinginan untuk menjadi orang lain. Rasanya kalau kita jadi orang lain hidup akan bahagia. Rasanya kalau jadi anak presiden kita akan selalu senang. Tapi yang jelas hidup akan lebih menderita kalau kita tak bisa menerima diri kita sendiri apa adanya. Menerima kekurangan diri juga kelebihan yang ada adalah kunci supaya kita bisa tersenyum. 

Tuhan sudah memberi kita akal untuk berpikir dan tenaga untuk bertindak. Di saat bersamaan, di dunia tempat kita tinggali ini ada berbagai macam hal termasuk di dalamnya godaan. Selalu ada godaan untuk melakukan hal-hal negatif. Dan kalau sudah melakukan hal positif, itu jarang bisa bertahan lama. Ya  karena itu, godaan. Tapi kalau yang negatif, jangankan tahan lama, hidup kita jadi berpola. Sebagai contoh, bangun pagi. Berdasarkan pengalaman saya, kalau kita atur waktu untuk bangun cepat, itu paling bertahan seminggu. Setelah itu kemungkinan untuk bangun terlambat jadi lebih besar. Tapi kalau soal bangun terlambat, katakanlah jam 10.00 pagi, itu akan ter-set dengan rapi. Setiap pagi jam 10.00 atau bahkan lewat sedikit. 

Begitulah hidup kalau tak terkontrol. Ia ibarat roda yang tak hanya membuat kita sekali di atas dan (berkali-kali) di bawah, tapi bisa bergelinding sendiri ke arah yang tak tentu. Ia berjalan sendiri tanpa tujuan sehingga ketika jenggot sudah memutih, mata berkunang-kunang, kita baru sadar bahwa kita belum sampai ke mana-mana. Kalau berbicara ini, saya teringat kata-kata instruktur saya waktu mengikuti sebuah pelatihan kemahasiswaan dulu. Pesannya, jadilah orang yang selalu berpacu dengan waktu. Setiap detik berusaha agar ketika melihat matahari kelak kita bisa tersenyum dan saat memandang ke belakang, tak ada air mata yang harus jatuh. Begitulah kata-katanya. Menggugah sekali bukan? 

Tapi itulah, di antara itu semua, penting sekali kita yakini bahwa Tuhan telah memberi kita harta karun yang letaknya dalam diri kita sendiri. Dengan menjadi orang lain, sama artinya kita mengubur anugerah. Terkadang saya berpikir masa depan itu ada dalam diri kita sendiri. Tapi kita menyibukkan diri, mengais dan menghiba pada yang jauh dan diluar kita. Kalau mengambil kutipan Iwan Fals, "sebab hidupnya dipacu nafsu". Kita mungkin serakah. Melihat orang lain dapat banyak, atau hebat di bidang tertentu, kita pun ikut-ikutan memilih jalan yang sama dengannya. Padahal belum tentu kita bisa bermain lebih baik dari orang tersebut. Meski ada kutipan, "aku bisa menahan apa pun kecuali godaan", tetaplah menjadil diri sendiri. . Tuhan telah menciptakan jalan untuk masing-masing kita. Ambil pahit, sesekali ambil manis, agar sampai di tujuan. Amiin.

Rabu, 05 September 2012

Secuil Hadiah dari Proses

Kata kawan saya, setia pada proses itu jauh lebih sulit dari pada setia pada pacar. Minggu lalu dan minggu sebelumnya dua cerita pendek saya dimuat berturut-turut di Harian Serambi Indonesia. Saya tidak bisa berbohong bahwa saya memang sangat senang. Ini karena kesetiaan saya proses yang ,alhamdulillah, sampai hari ini belum berakhir. Dulu setiap mengirim karya tak pernah dimuat. Tak jarang saya memaki dan mencaci media yang menolak karya saya itu. Karena menurut saya karya saya sudah bagus dan layak muat. Lagi pula, menulis itu tak gampang. Sulit sekali. Saya harus beberapa kali gagal sebelum sebuah tulisan selesai utuh. Kadangkala untuk sebuah cerpen saya harus bergadang sampai pagi. Tapi ketika mengirim, tak pernah pun baik karya atau keringat saya dihargai. Saya bahkan pernah berpikir bahwa media tidak akan pernah memuat karya Putra Hidayatullah kecuali saya ganti nama.


Tentang PNS

Bulan puasa kemarin saya bertemu dengan seorang lelaki. Dia bertugas sebagai PNS di sebuah instansi di Banda Aceh. Sambil basa-basi pembicaraan kami mengarah pada profesi yang sedang disandangnya. Darinya saya tahu bahwa ramai pegawai yang kekurangan tugas di kantor. Ini karena banyaknya jumlah mereka. Istilahnya overloaded lah. "Coba bayangkan, bagaimana mungkin untuk foto kopi  dipakai sepuluh orang" kata kawan saya itu. Akibat dari overloaded ini, banyak dari mereka yang tertarik melakukan pekerjaan lain seperti bergosip ria,  bermain facebook atau twitter dengan fasilitas wifi gratis (punya kantor). Kalau sudah bosan, mereka keluar dan duduk-duduk di warung kopi. Makanya tak jarang kita lihat ada orang berpakaian dinas nongkrong di warung kopi pada waktu jam kerja.

Senin, 03 September 2012

Mengasah Diri

Practice makes tired. Mungkin kedengarannya agak berbeda dari yang selama ini, practice makes perfect. Iya practice atau berlatih itu memang melelahkan terutama jika kita tidak menyukai apa yang sedang kita geluti. Misalnya berlatih bola. Bagi orang yang memang cinta sepak bola latihan itu justru sebuah kenikmatan yang tak tergantikan dengan hal lain. Tapi bagi orang yang tidak suka sepak bola? Yang terjadi justru sebaliknya. Tidak mengenakkan dan sangat melelahkan. Contoh lain lagi ada pada orang yang menulis.  Bagi orang yang hobinya menulis, berlatih jadi kebutuhan. Dia akan menikmati proses dengan tekun dan telaten . Walhasil dia bisa menjadi seorang penulis yang sukses jika ditambah dengan semangat totalitas. Tapi bagi orang yang tidak suka menulis, apa yang akan terjadi kira-kira? 

Ironi Status Facebook

Jejaring sosial yang mulai bermunculan ketika saya beranjak dewasa (mungkin "beranjak tua" lebih tepat) punya ironi tersendiri. Ada berbagai hal yang lumayan menggelitik. Sebenarnya sudah lama tapi saya baru sadar. Setiap kali log-in saya menelusuri  status-status facebook teman. Beberapa di antaranya adalah status bijak yang berisi  motivasi. Sementara jenis lain (yang 4L4Y tak masuk) berupa kata-kata relijius yang bisa membangkitkan spiritualitas. Luar biasa mencerahkan.

Sabtu, 01 September 2012

Malu Menulis

Kendala lain (selain tak punya ide dll) dalam menulis adalah malu. Saya sering merasa malu dengan tulisan saya sendiri apalagi tulisan model curhat seperti ini. Terus terang saya tidak nyaman membicarakan tentang diri saya sendiri meski bisa jadi pengalaman atau hal-hal lain tetang saya bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Meski demikian, sebagai seorang pembelajar, saya tetap harus menembus batas. Kata Nabi, musuhmu adalah dirimu sendiri. Ya, saya memang kerap menyerah pada kekuatan yang muncul dalam diri saya sendiri. Kekuatan itu seperti iblis membisiki saya untuk menyerah, tidak menulis, dan menyuruh untuk tidur atau memunculkan emosi-emosi negatif. 

Rabu, 15 Agustus 2012

Kering


Dunia kita sunyi
Mendekatlah
Duduklah di balai bambu ini
Akan kita tatap bulan tanpa risau
Kita dengar alam berdendang
Meski tetap saja celoteh rapuh yang kian terdengar 
Pohon-pohon wafat
Daun-daunnya  mengering
Sementara hujan tak lagi ramah

Lihatlah bagaimana sebagian menzalimi sebagian yang lain
Beginilah sejarah manusia kini berjalan
Dunia kita sunyi
Tak ada yang mendengar
Kata hanya hingar

Beureunuen, 16 Agustus 20012

Selasa, 17 Juli 2012

Rasa takut itu umpama melihat maop: besar, gelap, bermata merah, bertaring dan menjerat. Itu dirasakan oleh putraku pada suatu magrib. Keringat membaluri keningnya.

"Ayah, aku takut"

"Takut kenapa?"

"Bagaimana kalau suatu saat nanti aku diklaim jadi ... ?"

Aku tergeragap. Tak pernah kubayangkan. Sejak mendengar itu aku kerap melihat maop dalam mimpi dan sesekali merasakannya seolah duduk menyeringai di sampingku. Ia berbulu lebat dan tangannya panjang betul.

Tak ingin digelayuti perasaan resah, aku dan putraku mulai keluar rumah mencari hiburan. Kami pulang ketika mata mulai layu. Lalu kami terlelap. Dalam lelap, tanpa kami sadari, tangan maop itu ternyata meraba-raba bunga di halaman rumah bahkan sesekali mengambil perabotan dalam rumah kami secara diam-diam.

Tears In Fairmont Park

By Putra Hidayatullah

In the middle of spring, still like the last few years, I visit Fairmont Park. I sit on an iron chair placed under hundreds cherry blossom trees. Some purple, white and pink flowers fall on ground. Ten meters away two young couples are laughing while eating ice cream. The wind that afternoon blows unhurriedly and touches my hair. I see some children aged around five are playing kites excitedly in the middle. A smile shines from my face but it is soon fade when that vivid memory comes. 

Minggu, 03 Juni 2012

Tipu Ibu


"Adek bayi itu datangnya darimana, Ma?"

Setelah mendengar jawaban ibu, bertahun-tahun kita kerap peka pada langit. Kita mengacungkan telunjuk tinggi-tinggi manakala ada pesawat melintas. Kita cekikikan.

"Aku yang lihat duluan!"
"Bukan, aku duluan!"

Kita saling mendebat. Dalam gegas kita menyatukan tangan kanan dengan tangan kiri membentuk corong lalu kita tempelkan di mulut.

"Pesawat, kami mau adik lagi!"
"Berikan kami adik baru!"

Kita berteriak menukik hingga muka memerah. Tak satu pun pesawat mengabulkan permintaan kita.

Kecewa, kita kembali pada ibu, 

"Bu, pesawat itu pelit! Kenapa pesawat tidak menjatuhkan adik bayi?"

Ibu membelai rambut kita sambil tersenyum. Ibu kata, pesawat mengirim adik ketika kita sedang terlelap. 

Sekarang kita tahu siapa yang pertama kali membohongi kita. Kita tak marah, mengingatnya saja kita tersenyum.

Begitulah cara ibu berbohong, tanpa melukai.[]