Tamat kuliah saya senang. Saya bisa lebih fokus pada kerja. Suatu ketika (sebelum tamat) saya pernah duduk dengan ibu dan mengatakan bahwa saya sudah dapat kerja. "Apa kerjamu?" dengan santai saya menjawab, "menulis" Ibu saya tersenyum. Saya tahu apa maksud senyum itu. Memang pekerjaan menulis tampak tak begitu menjanjikan. Apalagi jarang sekali ada orang di sekeliling saya yang sukses karena menulis.
Saya pernah beberapa kali menjadi penerjemah untuk pendatang asing dari Amerika dan Australia. Setiap menjadi interpreter saya selalu berusaha membuka corong diskusi. Saya ingin tahu apa rahasia orang-orang Eropa, Amerika dan yang serumpun dengannya hingga bisa menjadi manusia unggul di segala bidang baik di sepak bola, film, sastra, musik, sains, dan teknologi. Dari beberapa diskusi dan hal-hal tersirat yang saya dapat dari mereka, intinya adalah fokus dan kerja keras. Mereka bekerja berdasarkan passion alias apa yang mereka sukai dan nikmati. Jika mereka memiliki ketertarikan dalam dunia tulis menulis, maka mereka akan bekerja keras untuk itu. "If you want it why don't you work hard to achieve?" (Jika kamu ingin itu, mengapa kamu tidak bekerja keras untuk itu?)
Mereka begitu menjunjung tinggi semangat totalitas. Saya menemukan ramai orang di sekeliling tidak begitu. Kebanyakan menginginkan sesuatu tapi tidak dengan kerja keras. Contoh kecil ada di universitas. Saat kuliah saya sering menjumpai teman-teman mengeluh karena dosen-dosen tertentu memberinya nilai sedikit. Mereka kadang berbuih-buih membicarakan si dosen yang seolah tak pantas memberi nilai se-sedikit itu untuknya. Padahal kalau dilihat dari kinerja dia selama satu semester, dia lebih layak mendapat nilai lebih rendah dari yang dosen telah berikan. Pada titik ini secara tidak sadar kita telah menjadi pribadi-pribadi instan. Untuk menjadi seorang pegawai tak perlu belajar, cukup mencari segepok uang lalu menyogok. Untuk menjadi seorang guru cukup dengan membangun relasi (kalau tak ingin disebut menjilat) dengan orang-orang tertentu.
Dalam bahasa Aceh ada adagium "u bek beukah, kuah beuleumak" yang maksudnya mencapai sesuatu dengan tidak mengorbankan apa pun. Inilah yang sedang gencar-gencarnya dipraktikkan oleh orang-orang. Bukan tidak bisa mendapatkan sesuatu dengan tanpa mengeluarkan keringat. Bisa. Tapi cara-cara yang cenderung politis itu bisa menzalimi orang lain yang lebih pantas dan memiliki kapasitas. Dan tidak hanya itu, dampaknya bisa meluas. Misalnya seorang guru yang lulus karena "main belakang" bisa dibayangkan bagaimana dengan kapasitas minim ia akan "menipu" murid-murid.
Perilaku gandrung instan ini sifatnya menyebar. Dari beberapa orang yang saya temui, ada yang sudah menganggap itu lumrah. Untuk menjadi pegawai di sebuah instansi tinggal mencari orang dalam. Istilahnya kita lebih mengandalkan koneksi ketimbang kompetensi. Bukan tidak mungkin orang-orang yang sebenarnya memiliki potensi tetap memilih cara instan ini. Ambil saja murid dalam sebuah kelas sebagai contoh. Saat murid-murid yang malas bisa dengan cara-cara ilegal mendapat nilai yang bagus, murid-murid yang pandai dan rajin bisa jadi tak tinggal diam. Untuk apa belajar rajin-rajin hasil sama saja dengan mereka yang malas. Ujung-ujungnya semua membudayakan budaya malas. Malas belajar, malas membaca, malas mencari dan lainnya.
Kembali pada saya. Saya sementara ini masih bersikukuh pada pendirian ini. Sampai hari ini (tak tahu besok) saya tak ingin mengambil cara-cara instan itu. Walau pun saya punya koneksi yang bisa menghubungkan saya ke sana. Saya kasihan saja pada diri sendiri. Entah mengapa saya jadi berpikir bahwa orang-orang yang pakai jalur belakang itu adalah orang yang tidak jantan. Tidak mandiri. Hampir bisa disamakan dengan seorang pemuda yang sudah berkumis tapi masih perlu ditemani ibu untuk membeli baju lebaran. Saya ingin bereksperimen dengan diri saya sendiri. Dan saya akan mencoba bekerja keras untuk itu. Saya percaya bahwa Tuhan telah menitipkan harta karun dalam diri saya. Saya harus menggalinya sendiri. Dengan keringat sendiri. []